Artikel

Anekdot Seniman (20): AMANG RAHMAN MERAYU PRAMUGARI

Anekdot Seniman (20): AMANG RAHMAN MERAYU PRAMUGARI

Catatan Henri Nurcahyo

KETIKA Amang Rahman sudah mulai laku lukisan-lukisannya, dia dengan gagahnya bisa naik pesawat terbang, bukan lagi naik kereta api seperti biasanya. Dari balik jendela pesawat inilah  dia memandang awan gemawan di langit yang sering menjadi objek lukisannya. Kalau biasanya dia hanya imajinasi, sekarang bisa melihat langsung dari jarak dekat. Tapi siapa sangka justru di pesawat inilah pelukis surrealis ini malah merayu pramugari. Lha dalah.

Dalam banyak lukisannya, Amang memang sering melukis awan atau visual yang mirip awan. Karena itu dia suka sekali berlama-lama memandang awan. Dari lantai dua rumahnya yang menghadap ke timur Amang suka duduk-duduk memandang awan di langit. Tetapi ternyata tetangga depan rumahnya malah membangun tembok tinggi untuk lantai dua. Rumah itu menghadap ke selatan, sehingga bangunan tembok tinggi persis di depan rumah Amang.

“Wah saya kehilangan langit,” keluhnya.

Langit, awan dan rembulan, adalah objek visual yang seringkali hadir di kanvas Amang Rahman. Dalam lukisannya ia mengangkat simbol-simbol melalui warna, terutama biru. Menurutnya, biru merupakan simbol sorga atau dunia rohani,  sebagaimana yang pernah dikatakan oleh kakeknya, bahwa sorga itu berwarna biru. Sedangkan visual awan adalah simbol dari kemungkinan-kemungkinan yang dihadapi manusia, sekaligus perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan.  

Amang bersyukur bisa mempunyai rezeki naik pesawat terbang sambil memandang langit dan awan gemawan. Ketika masih kondisi kekurangan, sarana transportasi yang sering digunakannya adalah kereta api, khususnya kelas ekonomi Gaya Baru Malam. Dalam perkembangannya meningkat ke kelas eksekutif. Toh Amang malah mengeluh naik kelas eksekutif:

“Bayar tiket mahal-mahal kok malah gak bisa merokok.”

Suatu ketika pagi-pagi Pak Amang sudah muncul di Wisma Seni TIM. Teman-teman seniman yang baru bangun langsung bertanya:

“Naik sepur apa Pak?”

“Pesawat, flight pertama,” jawab Amang gagah.

“Huik, guaya…..”

Terkait dengan pengalaman naik pesawat ini ada sebuah kejadian lucu ketika Amang diajak Dibyo pulang dari Jakarta. Kejadian ini sebelum Amang mampu naik pesawat dengan biaya sendiri.

“Pulang bareng aku Pak,” kata Dibyo.

Numpak opo?” (Naik apa?)

“Pesawat.”

Amang terdiam. Tidak melanjutkan pertanyaan. Dibyo sudah paham yang dibayangkan Amang.

“Tenang ae Pak, aku yang bayar,” ujar Dibyo.

“Gak ngomong ket mau,” sahut Amang.

Nah begitu sudah berada di dalam pesawat, Amang tidak mengira bahwa dia naik Garuda, yang tentu saja tiketnya mahal. Pramugarinya pun terkenal cantik-cantik. Kulitnya mulus, wajahnya menawan, apalagi selalu tersenyum kepada setiap penumpang. Memang itu sudah SOP-nya. Tugasnya memang begitu.

Setiap kali pramugari lewat di dekat Pak Amang, selalu saja pandangan Amang menatap tajam. Mungkin mengagumi kecantikannya. Apalagi ketika pramugari itu datang mendekat, membagikan makanan dan minuman, sambil membungkukkan badan. Dibyo yang duduk di sampingnya hanya bisa menahan senyum saja.

Tiba-tiba Amang melontarkan permintaan kepada pramugari tersebut.

“Maaf Sus, boleh saya minta sesuatu?”

“Oo boleh Pak. Apa yang saya bisa bantu,” jawab pramugari itu ramah. Tidak lupa senyumnya pun mengembang.

“Tapi jangan marah yaa,” ujar Amang.

Pramugari itu agak terkejut. Memangnya lelaki tua ini mau minta apa? Wajahnya nampak serius, rambutnya agak gondrong, sudah memutih, juga kumis lebatnya memutih semua. Namun sebagai pelayan penumpang yang professional pramugari itu tentu akan menuruti kemauan penumpangnya, sebatas masih dibolehkan. Dia masih menunggu, permintaan apa yang akan disampaikan penumpang tua ini. Sementara Dibyo sudah deg-degan, menunggu perkataan Amang selanjutnya.

“Ya Bapak, memangnya minta apa?” Pramugari itu berkata renyah dan menyenangkan.

“Anu, bolehkah saya memegang tangan Sus?”

Dibyo kaget. Pramugari itu juga kaget. Mimik Amang sama sekali tidak menunjukkan kesan genit atau menggoda. Dia mengatakan hal itu dengan nada datar dan serius.

Pramugari itupun menyodorkan lengannya, dan Amang menggenggam tangan pramugari itu dengan kedua tangannya tanpa berkata-kata. Matanya memandang pramugari itu. Dan pramugari itu juga memandangnya. Tersenyum.

“Terima kasih yaa….” ujar Amang sambil melepaskan tangan pramugari.

Dibyo sakit perut karena tidak kuat menahan tawa melihat kelakuan seniornya ini. (*)

In category: Artikel
Related Post
no-img
DESA BUNGURASIH BUKAN DARI MBAH BUNGUR

Oleh Henri Nurcahyo   BUNGURASIH selama ini dikenal karena keberadaan ...

no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...