Artikel

Anekdot Seniman (21): AGAR UANG TAK DIKETAHUI ISTRI

Anekdot Seniman (21): AGAR UANG TAK DIKETAHUI ISTRI

Catatan Henri Nurcahyo

BARANGKALI masih berlaku sampai sekarang, bahwasanya ada di antara para pelukis suka menyembunyikan hasil penjualan lukisannya kepada istri. Memang tidak semua, namun ada saja “kreativitas” mereka agar istrinya tidak mengetahui suaminya punya uang. Kalau toh masih ketahuan, itu berarti tergolong istri yang “pinter cari uang.” Artinya, dimana saja suaminya menyimpan uang, pasti dapat dicari dan diketemukannya.

Para seniman, khususnya pelukis Surabaya yang biasa nongkrong di DKS suatu ketika terlibat “diskusi” bagaimana caranya menyiasati agar istri mereka tidak mudah menemukan uang suaminya. Waktu itu ada Amang Rahman, M. Roeslan, M. Daryono, O.H. Supono (al fatihah untuk semuanya, hn). Kalau Pak Amang, nyaris tidak pernah pegang uang sendiri. Semua penghasilannya diserahkan kepada istri. Namun pernah suatu ketika saya diberi uang dari sebagian honor ceramahnya karena saya membuatkan makalahnya.

“Ini duit lanang, buat kamu,” katanya.

Kalau M. Roeslan, lelaki yang lebih dikenal sebagai budayawan Jawa serba bisa ini tidak pernah peduli soal uang yang dibawanya. Bahkan pernah Pak Roeslan naik becak dari rumahnya di kawasan Darmawangsa menuju DKS di Balai Pemuda tanpa membawa uang sama sekali. Tukang becak itu menunggu sampai dengan menjelang sore saat Pak Roeslan biasanya pulang.

Tetapi begitu Roeslan hendak pulang, dia teringat bahwa becak yang ditumpanginya tadi pagi belum dibayar. Sementara selama seharian dia di kantor DKS tidak mendapatkan rejeki sama sekali. Padahal rencananya dia akan pulang dengan menggunakan becak yang sama. Alhasil, dia tidak berani pulang lewat jalan keluar biasanya, melainkan melalui pintu belakang, menyusur tepi sungai hingga tembus ke Jalan Yos Sudarso.

“Kenapa Roes?” tanya Amang.

“Ada Kumpeni,” jawabnya disusul tawa.

Diakuinya sendiri, Roeslan memang orang yang “menggampangkan” urusan uang. Kalau toh di kantongnya ada uang, berapa saja, akan langsung dipergunakan manakala ada keperluan. Padahal, bisa jadi uang itu bukan haknya. Memang tidak bermaksud buruk, karena sebaliknya, uang pribadi pun juga digunakan untuk keperluan yang seharusnya dia tidak perlu keluar uang. Pak Roeslan tidak pernah punya hitung-hitungan soal uang.

Para pelukis itu lantas berbagi pengalaman soal bagaimana menyiasati menyimpan uang agar tidak diketahui istri. Ada yang menyimpan di kaos kaki, ketahuan. Apalagi seniman jarang pakai kaos kaki. Disimpan di lubang lipatan celana, masih juga ketahuan. Disimpan di balik topi, ternyata bukan cara jitu agar uang tidak ditemukan. Apalagi uang tetap dibiarkan berada dalam dompet.

“Tapi uangku aman-aman saja kok meski berada dalam dompet,” ujar Pak Pono.

“Lho, kok bisa”

“Saya tukarkan dollar,” jawabnya disusul tawa ngakak.

Kalau istrinya tahu, maka dengan entengnya Pono akan menjawab:

“Halah, itu uang mainan kok. Gak payu

Namun lama-lama istrinya mengerti, bahwa itu bukan uang mainan.

“Bohong, itu bukan uang mainan, itu duwit Londo.”

Sedangkan M. Daryono punya kisah lain lagi yang unik. Suatu sore dia pulang ke rumahnya di Perumnas Manukan. Ketika sudah berada di depan rumahnya baru teringat bahwa uangnya belum disembunyikan. Kebetulan di depan rumahnya ada tumpukan batu bata yang rencananya memang untuk memperbaiki rumah. Maka Daryono kemudian menyembunyikan sebagian uangnya di antara tumpukan bata itu. Maka selamatlah uang itu, pikir Daryono.  Kalau toh istrinya minta uang, dia masih ada simpanan di tempat rahasia.

Keesokan harinya, Daryono teringat uangnya di tumpukan batu bata itu.

“Lho kok hilang?” batinnya.

Tentu saja dia tidak berani bertanya pada istrinya.

Maka satu persatu batu bata itu dipindahkan letaknya.

“Kenapa Pak kok dipindah?” tanya istrinya.

“Ya biar gak sumpek.”

Sampai dengan tumpukan batu bata terakhir sudah dipindah, ternyata uang itu tidak berhasil ditemukan. Daryono bingung.

Sementara istrinya langsung masuk rumah lagi dan menahan tertawa. Karena kemarin sore, ketika suaminya menaruh uang di tumpukan bata itu, diam-diam dia mengawasi dari balik jendela. Begitu Daryono sudah tidur, diambillah uang itu. Rasakno Koen. (*)

Teks foto: Daryono (kiri) dan OH. Supono (kanan)

In category: Artikel
Related Post
no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...

no-img
JELAJAH BUDAYA CANDI GUNUNG GANGSIR

PASURUAN: Acara bulanan rutin Dialog Budaya Komunitas Seni Budaya BrangWeta...