CERITA PANJI BUKAN HANYA MASA LALU
TELAH banyak Cerita Panji dibicarakan dimana-mana dalam berbagai forum. Sudah sering diselenggarakan bermacam event berupa festival, pergelaran dan semacamnya. Berbagai upaya pengenalan kembali Cerita Panji tersebut patut mendapat apresiasi. Satu hal yang didapatkan dari serangkaian acara itu adalah, ada kesan bahwa Cerita Panji hanyalah dianggap sebagai warisan masa lalu yang adiluhung dan harus dikenang begitu saja. Dengan kata lain, Cerita Panji seolah-olah hanya menjadi urusan para orang tua belaka. Sementara kalangan muda tidak merasa penting untuk tahu dan memahaminya.
Padahal sesungguhnya Cerita Panji bukan hanya warisan usang yang layak ditinggalkan. Cerita Panji adalah harta karun yang masih tersimpan di goa dan harus segera ditemukan, dikenali, dipahami dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sebagaimana sudah diamanahkan dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, bahwa Objek Pemajuan Kebudayaan (termasuk Cerita Panji) tidak cukup hanya dilindungi melainkan harus dikembangkan, dimanfaatkan dan dibina.
Karena itulah Cerita Panji harus benar-benar dikenali dan dipahami untuk dapat melakukan pelindungan, pemanfaatan dan pembinaan. Lha kalau kenal saja tidak, bagaimana mungkin lantas mengklaim bahwa (cerita) Panji adalah warisan masa lalu yang tidak relevan dengan masa kini? Salah satu contohnya, banyak yang beranggapan bahwa Cerita Panji hanya berurusan dengan kisah cinta orang dewasa saja sehingga lantas diklaim tidak cocok diajarkan kepada anak-anak. Ini berarti mereka belum betul-betul mengenal substansi Cerita Panji itu sendiri. Silakan baca artikel “Cerita Panji sebagai Sarana Edukasi” dalam buku ini.
Bahwasanya Cerita Panji dapat dikreasi menjadi bahan baku cerpen modern. Lihat saja karya-karya sastrawan yang menjadi peserta Sayembara Cerpen Berbasis Cerita Panji. Ulasannya dapat dibaca di buku ini. Meskipun, dari tema yang dibuat mereka, nampaknya masih berkisar pada cerita Panji yang mainstream dalam bentuk dongeng. Padahal Cerita Panji ada ratusan macamnya, ditulis dalam berbagai aksara dan bahasa. Hal itu diulas dalam artikel di buku ini yang berjudul “Beragam Versi Cerita Panji.”
Demikian pula ketika kalangan perupa mengeks-plorasi Cerita Panji menjadi karya senirupa kontemporer sebagaimana yang sudah dipamerkan di Kota Batu tahun 2018. Ini membuktian bahwa Cerita Panji dapat menjadi modal besar yang layak dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Ulasan tentang pameran itu dapat disimak di artikel yang berjudul “Cerita Panji dalam Seni Rupa Kontemporer.”
Sementara itu selama ini Kota Kediri mengklaim sebagai “Kota Panji” sedangkan Kabupaten Kediri menyebut sebagai “Bumi Panji”. Pertanyaannya, apakah hanya kedua daerah itu saja yang memiliki potensi Panji? Tentu saja tidak. Banyak kota dan kabupaten di Jatim yang juga layak menjadikan Cerita Panji sebagai (salah satu) ikonnya. Nah, mengapa tidak sekalian saja menjadikan Cerita Panji sebagai ikon Provinsi Jawa Timur? Bayangkan kalau di bandara Juanda terpampang baliho besar: “Selamat Datang di Provinsi Panji”. Mengapa tidak? Argumen-tasi tentang hal ini dapat dibaca dalam artikel “Jawa Timur sebagai Provinsi Panji.”
Masih ada beberapa topik menarik dalam buku yang merupakan antologi makalah dan artikel saya yang disampaikan dalam beberapa kesempatan. Selain berbagai topik yang sudah disebut di atas masih ada topik yang terkait relevansi Cerita Panji dengan Hari Valentin. Juga tentang gagasan inovasi menjadikan Panji seperti Hello Kitty. Dan lain-lain. Selamat membaca.
Bumi Jenggala, Agustus 2021
Henri Nurcahyo
0812 3100 832