ArtikelReportaseSeni Tari

JELAJAH BUDAYA CANDI GUNUNG GANGSIR

no-img
JELAJAH BUDAYA CANDI GUNUNG GANGSIR

PASURUAN: Acara bulanan rutin Dialog Budaya Komunitas Seni Budaya BrangWetan kali ini diwujudkan dalam bentuk Jelajah Budaya ke Candi Gunung Gangsir dan Candi Belahan (Minggu, 2 Oktober 2022). Candi Gununggangsir terletak di Dusun Keboncandi, Desa Gunung Gangsir, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan. Pemugaran candi dilakukan selama 10 tahun, mulai tahun 2003 dan selesai pada 2013. Sedangkan Candi Belahan berada di desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol, juga di Pasuruan.

Kaki Candi Gunung Gangsir berbentuk segi empat dengan ukuran sekitar 15 x 15 m2. Tinggi bangunan candi mencapai sekitar 15 meter. Diperkirakan candi yang menghadap ke timur ini dibangun sekitar abad 11 M, fungsinya untuk peribadatan dan penyimpanan abu jenazah.

Atap candi berbentuk melengkung dengan ujung tumpul seperti puncak gunung. Bagian puncak atap sudah hancur, namun masih terlihat lapik penyangga puncak atap. Bentuk atap yang seperti kerucut inilah yang menyebabkan terdapat ruangan kosong di dalamnya. Di bagian dasar dari ruangan itu terdapat hamparan pasir di sebuah kotak dengan batasan batu bata. Diperkirakan sekitar 20 orang dapat memasuki ruangan  ruangan ini. Di tempat ini hawa terasa sangat sejuk meski di luar udara sangat panas. Bentuk atap mengerucut yang terlihat dengan jelas bagian dalamnya ini (ruang plafon atap candi) mengingatkan pada candi Pari di Sidoarjo. Nampaknya di tempat ini sangat cocok untuk lokasi meditasi.

Pada dinding di sisi kanan dan kiri atas pintu terdapat relung yang terlihat seperti tempat meletakkan arca. Relung di sisi selatan sudah hancur, sementara yang di sisi utara masih tampak bekasnya. Beberapa relung yang nampak di dinding candi sudah terlihat kosong sama sekali. Dari belakang, bangunan candi tampak seperti bukit kecil yang terbuat dari batu-bata, namun tidak terdapat relung-relung tempat meletakkan arca.

Beberapa hiasan masih menempel pada dinding candi. Di kiri dan kanan puncak tangga terdapat hiasan berupa pahatan gambar wadah berhiaskan sulur-suluran dan gambar seorang perempuan. Hiasan yang terbuat dari batu-bata tersebut sangat halus, nyaris terlihat sebagai hasil cetakan, bukan pahatan.

Candi Gunung Gangsir merupakan candi yang unik karena satu-satunya candi yang menggabungkan gaya arsitektur Jawa Timuran dengan gaya ragam hias Jawa Tengahan. Meski tidak dibangun pada masa Majapahit namun bahan bakunya terbuat dari batu bata. Dan candi ini merupakan satu-satunya candi yang menggunakan teknik cetak untuk menampilkan ragam hiasannya. Candi tersebut sangat kaya dengan relung-relung, pelipit dan antefiks yang dihias sangat indah. Panil-panil yang indah, menampilkan hiasan yang berupa relief tokoh, bejana-bejana dengan motif bunga, pilaster, pepohonan dan binatang, yang dibuat dengan teknik cetakan. Seluruh permukaan candi ini dilapisi dengan plesteran stuko, yang sama terdapat pada Candi Kalasan di Prambanan. Di halaman candi masih tergeletak tumpukan panil-panil yang memperlihatkan cetakan ragam hias candi yang entah di mana posisi aslinya.

Pada zaman penjajahan Jepang banyak hiasan pada dinding candi yang diambil oleh tentara Jepang untuk membiayai perang. Setelah Jepang tak lagi berkuasa, masyarakat setempat melakukan perbaikan sekadarnya tanpa didasari dengan pengetahuan memadai terkait pemugaran candi. Beberapa potongan bata atau hiasan dinding terlihat sangat berbeda dengan tempatnya menempel.

Konon, pada saat dilakukan pemugaran  para penggali menemukan emas yang pada akhirnya dijual untuk kepentingan pribadi. Setelah pemugaran selesai beberapa tahun berselang banyak arca yang hilang dicuri oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Janda Murah Hati

Cerita rakyat yang populer terkait candi ini, termasuk yang dijelaskan oleh juru peliharanya, bahwa Candi Gununggangsir dibangun sebagai penghormatan kepada Nyi Sri Gati yang berjuluk Mbok Randa Derma (janda murah hati) yang berjasa membangun masyarakat pertanian.

Konon, pada zaman dahulu masyarakat belum mengenal bercocok tanam. Mereka senang mengembara dan makanan utamanya merupakan tanaman jenis rerumputan. Suatu saat persediaan rerumputan yang menjadi makanan pokok masyarakat mulai menipis. Saat itu datanglah seorang perempuan yang tak diketahui asalnya bernama Nyi Sri Gati.

Perempuan itu mengajak para pengembara untuk berdoa, meminta petunjuk kepada Hyang Widhi supaya bisa mengatasi kekurangan pangan yang mereka alami. Tak lama kemudian datang serombongan burung sebangsa gelatik yang membawa padi-padian, lalu menjatuhkannya di dekat para pengembara. Padi yang jatuh itu kemudian ditanam oleh Nyi Sri Gati.

Beberapa bulan kemudian, tanaman Nyi Sri Gati dapat dipanen. Ia kemudian menumbuk hasil panennya menjadi beras yang kemudian diolah menjadi nasi. Selanjutnya Nyi Sri Gati mengajarkan cara bercocok tanam kepada para pengembara. Sejak saat itu masyarakat pengembara menetap dan hidup dari bercocok tanam. Mereka menjadikan padi sebagai makanan pokok. Sementara itu, sebagian dari padi yang dijatuhkan burung berubah menjadi permata yang membuat Nyi Sri Gati kaya raya.

Untuk menghormati jasa Nyi Sri Gati masyarakat setempat mengadakan acara selamatan setiap Jumat Legi siang hari di halaman candi. Namun belakangan lokasi acara ini dipindahkan ke balai desa.

Sementara itu, pada saat Jelajah Budaya ini berlangsung Komunitas Perupa Delta (Komperta) melakukan melukis bersama (On The Spot) di Candi Gunung Gangsir ini. Maka jadilah beberapa anggota BrangWetan juga ikut melukis. – hn

(bersambung – Candi Belahan)

 

In category: ArtikelReportaseSeni Tari
Related Post
no-img
DESA BUNGURASIH BUKAN DARI MBAH BUNGUR

Oleh Henri Nurcahyo   BUNGURASIH selama ini dikenal karena keberadaan ...

no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Menyiasati Cerita Panji agar Cocok untuk Anak

Pengantar Buku: “Cerita Panji Ramah Anak” SUATU ketika sejumla...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...