EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF
Catatan Henri Nurcahyo
JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog berlabel “Emak Gugat.” Ini pertunjukan yang tidak biasa, tidak konvensional, tanpa panggung, tanpa tatalampu dan tata suara. Pentolan Teater Tobong Surabaya itu hadir sendiri di antara sekitar 50-an pengunjung yang ternyata mayoritas emak-emak muda. Sebagian malah membawa anak-anak balitanya. Pertunjukan ini berlangsung di lahan terbuka dikelilingi pepohonan. Sementara suara-suara kodok dan binatang malam terus menerus terdengar. Itu adalah halaman belakang “Al Kautsar Education Center” milik Zulkarnaen Marzuki (42 tahun) di Jalan MT. Haryono 169 Wirolegi, Jember.
Pergelaran Minggu malam (13/11/22) ini berlangsung tanpa ada seremonial apapun. Tiba-tiba Dody muncul dalam pakaian daster kuning tanpa lengan, membawa bungkusan tas plastik merah di pundaknya, salah satu kakinya mengenakan gongseng. Dia langsung duduk di dekat penonton yang lesehan di atas terpal melingkar dan mengucapkan beberapa kalimat yang hanya bisa didengar dari jarak sangat dekat. Sebetulnya monolog itu sudah diucapkan sejak dia masih berada di luar dan berjalan menuju tempat pertunjukan. Dia bicara terus menerus entah kepada siapa. Tidak jelas apa yang dikatakannya.
Kemudian dia berpindah duduk ke dekat penonton lainnya. Ternyata dia mengucapkan kalimat-kalimat yang sama dan diulang-ulang sebagaimana sebelumnya. Dia sampaikan hal itu dengan suara pelan. Bahkan ketika dia pindah ke penonton yang duduk di tempat lainnya malah berbisik-bisik ke dekat telinganya. Tidak ada respon sama sekali dari penonton. Sebagian malah salah tingkah karena tidak tahu harus menghadap ke mana. Ternyata inilah kata-kata yang disampaikannya:
Orang-orang tidak pernah sungguh-sungguh dengan kebenaran, tidak pernah serius dengan kebaikan, kita cuma main-main, memperolok zaman, memperburuk dengan kemalasan dan kesombongan.
Itulah kata-kata yang diucapkannya berulang-ulang. Kemudian seolah kecewa lantaran tak ada yang meresponnya lantas lelaki berbusana perempuan itu menuju ke tengah-tengah arena. Lampu penerangan padam. Dari dalam tasnya dikeluarkan lampu sorot besar dan diarahkan sinarnya ke arah puncak pohon yang mungkin dianggapnya mau mendengar ceracaunya. Emak itu seolah tidak yakin bahwa orang-orang yang didekati benar-benar mendengarkan sehingga dia lantas bicara pada pohon, bicara pada ketinggian, bicara pada kegelapan. Hanya sebagian kecil mukanya ikut tersorot. Lantas dia mengarahkan sorot lampu ke beberapa arah. Masih terus berkata-kata. Diulanginya lagi kalimat-kalimat itu:
Orang-orang tidak pernah sungguh-sungguh dengan kebenaran, tidak pernah serius dengan kebaikan, kita cuma main-main, memperolok zaman, memperburuk dengan kemalasan dan kesombongan.
Jangan menangis Mak……
Ini kesadaran fakultas, kesadaran faktur, kesadaran faksimili, kesadaran fuck you (?)
Jangan ketawa Mak…..
Penonton terdiam di arena dalam suasana yang nyaris gelap. Beberapa saat kemudian Dody kembali ke tepi arena hanya untuk mengucapkan terimakasih. Selesai. Pertunjukan hanya berlangsung sekitar 15 (lima belas) menit. Penonton masih duduk tenang di arena, menunggu entah apa, yang ternyata tidak ada apa-apa lagi. Kemudian Dody muncul lagi dengan busana biasa, membuka ruang diskusi dengan moderator Gunawan.
Peristiwa Komunikasi
Dody sendiri meyakini bahwa setiap pertunjukan teater adalah peristiwa komunikasi. Maka dia memilih pola pementasan yang dekat penonton, mengabaikan panggung dan tatalampu. Tidak rumit. Bahwa teater itu harus fokus, futuristik dan mampu membaca zaman.
Apa yang disampaikannya adalah teks yang mengarah pada hal universal. Tentang kegelisahan sosok eMak, representasi diri sendiri, dengan kondisi penyakit sosial, yang akhir-akhir ini ada kecenderungan meracau, manipulatif, ngomel tidak jelas. Seperti kelainan seksual yang diformat oleh sistem sosial yang entah apa. Apakah kita semua merasakan hal itu? Selama pandemi kita dicekoki dengan jargon-jargon yang sama sekali tidak membekas sama sekali.
Apa yang diceracaukannya seolah mewakili kegelisahan dan penyakit sosial. Bukankah sifat emak-emak suka meracau? Berbicara entah kepada siapa, berulang-ulang meski tanpa respon sama sekali dari siapapun. Sosok Mak yang meracau dan menggugat, ada di mana-mana.
“Emak Gugat” adalah pertunjukan singkat yang kontemplatif. Ini adalah pementasan yang ke 21 sejak tahun 2015, dipertunjukkan beberapa kali di Surabaya, Bangkalan, Sumenep, Malang, bahkan pernah ke Samarinda.
Penampilan tokoh tunggal ini memang mengesankan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Tetapi apa yang dikatakannya begitu dekat dengan telinga kita. Begitu jelas dan langsung menteror ke dalam sanubari kita. Merasuk dalam diri di kedalaman. Siapakah emak-emak yang terlihat seperti orang gila ini? Ataukah kita sendiri yang tidak waras? Jangan-jangan dia bukan emak, bukan perempuan, melainkan laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan. Atau memang jenis kelamin menjadi tidak penting dipersoalkan sebagaimana tokoh Semar yang tak jelas jenis kelaminnya?
Geremengan (ceracau) yang disampaikannya sungguh-sungguh menjadi teror. Meresahkan dan sekaligus menggelisahkan. Boleh-boleh saja ada penonton yang tidak perlu paham dengan pertunjukan tetapi bisa merasakan. Namun ada juga yang bisa memahami dan sekaligus merasakan. Pertunjukan singkat itu sendiri justru menjadi bahan renungan yang tak akan tuntas meski dibahas dalam diskusi berjam-jam. Sayang sekali selama pertunjukan berlangsung beberapa lelaki asyik ngobrol sendiri di sebuah teras sehingga mengganggu kesunyian dan kesakralan pertunjukan.
Sekolah Alam
Zulkarnaen Marzuki sebagai pemilik lokasi seluas sekitar satu hektar ini sangat gembira dengan kehadiran karibnya ini. Selama ini lahan itu digunakan untuk aktivitas anak-anak sejak Senin hingga Jum’at sore hari. Pada hari Jum’at ada yang namanya Jum’at Sehat, Jum’at Berkah, Jum’at Kreatif, kemudian aktivitas berkemah setiap triwulan untuk melatih kemandirian. Sementara hari Sabtu dan Minggu diperuntukkan kegiatan kesenian dan komunitas hobi yang diikuti Zul (panggilannya) antara lain Komunitas Pecinta Kopi, atau Komunitas Pesepeda di mana tempat ini selalu menjadi rumah singgah dalam perjalanan melewati Jember.
Dan tentu saja komunitas kesenian, khususnya teater, di mana Zul tergabung dalam komunitas Studi Teater Jember. “Saya berharap teman-teman teater belum lengkap kalau belum pernah pentas di sini,” ujar Zul.
Kegiatannya berupa belajar kelompok untuk mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) atau tugas dari sekolah, mengaji atau belajar matematika dasar dan bahasa Inggris dasar. Sudah lima tahun berjalan meski belum ada kelembagaan formal. Rencananya hendak dikembangkan menjadi sekolah formal dengan sistem “sekolah alam.”
Zul adalah alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jember sebagaimana juga istrinya. Mereka memang sejak lama menyukai dunia anak-anak. Pilihan membuka “Sekolah Alam” lantaran belum ada di Jember, atau setidaknya yang betul-betul digarap serius. Jadi nantinya berbentuk sekolah formal, mulai PAUD, TK hingga SD, namun ada beberapa materi yang disampaikan dengan cara akrab dan dekat dengan alam di ruang terbuka.
Selama ini sudah tercatat 102 anak-anak yang ikut kegiatan di sini dengan 10 (sepuluh) tenaga pengajar ditambah Zul suami istri. Beaya operasional hanya mengandalkan pendapatan pribadi, antara lain penyediaan air minum isi ulang dan sebuah warung di tepi jalan. Bagi siswa nyaris tidak berbayar, hanya ada infaq antara Rp 2 – 10.000,- (*)