Sekartaji Kembar Ketoprak Siswo Budoyo

no-img
Sekartaji Kembar Ketoprak Siswo Budoyo

Catatan Henri Nurcahyo

MEMBACA judulnya saja saya langsung menduga bahwa yang dimaksud Sekartaji Kembar adalah ada sosok raksasi bernama Wadalwerdi yang menyamar menjadi Sekartaji ketika Sekartaji diculik. Ini cerita klasik serial Cerita Panji yang sering dibawakan dalam berbagai pertunjukan, termasuk Wayang Topeng. Ternyata ketika menonton pergelaran ketoprak kali ini dugaan saya meleset. Judulnya sama namun isinya berbeda. Beruntung saya sempat menonton sehingga bisa saya transkrip lakon ini menjadi tambahan koleksi Cerita Panji yang sudah saya kumpulkan dalam buku “Seratus Satu Cerita Panji”.

Jum’at malam (7/7/23) Gedung pertunjukan Cak Durasim Surabaya penuh sesak. Rombongan penonton berdatangan dengan menggunakan bus. Termasuk dari Tulungagung, daerah asal ketoprak legendaris ini. Tiket yang disediakan gratis pun ludes beberapa hari sebelum pertunjukan berlangsung. Beruntung ada layar lebar disediakan di pendopo beserta dengan puluhan kursi buat penonton yang tak bisa masuk gedung.

Sebelum acara dimulai disajikan Reog Kendang sebagai seni pertunjukan khas Tulungagung. Setelah itu sambutan dari Wakil Bupati Tulungagung,  H. Gatut Sunu Wibowo, S.E, dan  sambutan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jatim, Dr. Hudiyono, M.Si. yang sekaligus membuka acara. Pertunjukan ketroprak ini diawali dengan sajian tarian “Gambyong Mari Kangen” sebagai ciri khasnya, sebagaimana kalau di pertunjukan ludruk adalah tari Remo dan Bedayan.

Dikisahkan, Dewi Sekartaji sedang gelisah lantaran suaminya, Raden Panji Asmarabangun, tidak ketahuan di mana rimbanya. Bersama dengan adiknya, Dewi Ragil Kuning, dia mengadu kepada mertuanya, Raja Janggala. Pada saat itulah datang tamu bernama Klana Alit, utusan dari kerajaan Gilingwesi, yang bermaksud melamar Sekartaji untuk rajanya, Prabu Klanamuda. Melihat kecantikan Ragil Kuning, patih kerajaan Gilingwesi itu sekaligus juga menginginkan Ragil Kuning menjadi istrinya. Sekartaji dan Ragil Kuning langsung masuk tanpa berkata-kata. Klana Alit tersinggung dengan perlakuan tidak sopan tersebut.

Merasa lamarannya ditolak, Klana Alit lantas mengerahkan pasukan, bertempur melawan pasukan Janggala. Pertarungan berlangsung seru, hingga akhirnya dihentikan oleh Raja Janggala. Kemudian Resi Curiganata, penasehat kerajaan Janggala, menjanjikan akan mengantar Sekartaji dan Ragil Kuning ke kerajaan Gilingwesi. Klana Alit pulang dan melaporkan kepada Raja Prabu Klanamuda yang sedang didampingi oleh penasehatnya, Resi Sukmanendra. Raja tidak percaya bahwa Sekartaji akan diantar datang kepadanya. Saat itulah muncul Resi Curiganata yang memberitahukan bahwa Sekartaji dan Ragil Kuning sudah berada di Taman Keputren kraton Gilingwesi. Tidak menunggu lama Raja dan Patih Gilingwesi itu segera bergegas menemui perempuan yang diincarnya. Dan betul, keduanya berada di taman keputren.

Prabu Klanamuda datang merayu Sekartaji, demikian pula Patih Klana Alit mendekati Ragil Kuning. Namun apa yang terjadi, kedua perempuan itu malah menolak diajak berkasih-kasihan. Mereka menyatakan bersedia dinikahi namun menolak untuk melayani. Prabu dan Patih yang gusar  malah dihajar oleh kedua perempuan itu hingga pingsan.

Ketika siuman, mereka mengejar Sekartaji dan Ragil Kuning. Sementara itu Sekartaji dan Ragil Kuning lantas berpapasan dengan Raden Panji dan Raden Gunungsari. Betapa senangnya kedua lelaki itu bertemu dengan pasangannya. Klanamuda dan Klana Alit yang muncul di tempat yang sama segera disambut oleh Panji dan Gunungsari. Pertarungan tak terhindarkan. Hingga akhirnya Klanamuda dan Klana Alit kalah. Namun mereka lantas mengadu kepada Resi Sukmanendra. Panji tak sanggup menghadapi kesaktiannya hingga dia melarikan diri. Muncullah Resi Curiganata yang membela Panji dan berhadapan dengan Resi Sukmanendra. Pertarungan keduanya berlangsung seru. Keduanya sama-sama mengeluarkan kesaktiannya yang mampu mengubah dirinya menjadi siapa saja.

Singkat cerita Resi Sukmanendra kalah. Muncullah Raden Panji dan Gunungsari dengan pasangan masing-masing. Kemudian Resi Curiganata bertanya kepada Panji, apakah boleh dirinya meminta Sekartaji untuknya? Tentu saja Raden Panji kaget dan menolaknya. Kemudian Resi Curiganata menghadirkan dua orang perempuan cantik, Sekartaji dan Ragil Kuning. Lho, Panji dan Gunungsari terkejut luar biasa. Mengapa ada Sekartaji dan Ragil Kuning lagi? Mengapa bisa ada kembaran mereka?

Ternyata, Resi Curiganata menyihir dua lelaki menjadi Sekartaji dan Ragil Kuning palsu sehingga membuat pandangan mata Prabu Klanamuda dan Patih Klana Alit tertipu. Begitu pula Raden Panji dan Gunungsari. Ketika sihir itu dihilangkan, maka tampillah sosok Sekartaji dan Ragil Kuning yang palsu kembali terlihat seperti wujud asalnya.

Pertunjukan ini disutradari oleh Bambang Wijanarko, putra Pak Siswondo yang menjadi pimpinan menggantikan almarhum ayahnya. Kalau toh ada yang perlu digarisbawahi, adegan lawak dalam pertunjukan ini terasa sangat lama. Total durasi seluruh pertunjukan tercatat sekitar 3 (tiga) jam. Materi lawakannya pun masih gaya lawas, klise dan tidak ada unsur kebaruan. Bahkan ketika beberapa lemparan bungkusan ke atas panggung pun tidak segera direspon dengan improvisasi dan hanya menunggu hingga akhir adegan lawakan. Namun lumayanlah, setidaknya seni pertunjukan ketoprak masih mau membawakan Cerita Panji. (*)

In category:
Related Post
no-img
JEJAK BUDAYA PANJI DI TANAH BANJAR

Oleh Henri Nurcahyo (repost: Harian Media Indonesia, Minggu, 19 Mei 2024) &...

no-img
Mengajarkan Gamelan Sebagai Tradisi Lisan

Bagian kedua: Diplomasi Panji Mengenalkan Budaya Indonesia di Prancis Hari ...

no-img
Sekartaji Kembar Ketoprak Siswo Budoyo

Catatan Henri Nurcahyo MEMBACA judulnya saja saya langsung menduga bahwa ya...

no-img
“SPIRIT OF PANJI” TEATER KOMUNITAS DI MUSEUM PANJI

TUMPANG, MALANG: Teater Komunitas (TeKo) Malang mementaskan cerita Panji di...

no-img
Wiruncana Murca, Wayang Topeng Tanpa Topeng

Catatan Henri Nurcahyo Komunitas Tomboati Jombang menggelar pementasan Waya...

no-img
Realisasi Industri Kreatif Cerita Panji

Oleh Henri Nurcahyo Enam tahun yang lalu, para pelaku seni budaya dan aktiv...