Artikel

Balai Pemuda: Seniman dan Anjing Dilarang Masuk

no-img
Balai Pemuda: Seniman dan Anjing Dilarang Masuk

 

Catatan Henri Nurcahyo

 

Ketika masih bernama De Simpangsche Societeit, Balai Pemuda menjadi tempat rekreasi orang-orang Belanda untuk pesta ria, dansa dan hura-hura. Hanya golongan mereka saja yang boleh masuk, sebagaimana jelas terpampang di sebuah plang: Verboden voor honden en Inlander (dilarang masuk bagi anjing dan pribumi). Ketika kemudian sekarang ini Pemerintah Kota Surabaya hendak mengusir seniman dari kompleks Balai Pemuda, jangan-jangan lantas juga dipasang plang: “Seniman dan Anjing Dilarang Masuk.” Naudzubillah min dzalik.

Pada waktu itu, tentu saja para pejuang kemerdekaan tersinggung harga dirinya ketika disamakan dengan anjing oleh penjajah Belanda. Masa-masa rasis itu berlangsung dalam kurun waktu tahun 1907 – 1945. Karena setelah itu  gedung ini dikuasai oleh Arek-arek Suroboyo yang tergabung dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI), sekaligus merupakan Markas  Pemuda Arek-arek Suroboyo. Tetapi Belanda merebutnya kembali sehingga setelah melakukan perlawanan yang sengit Arek-arek Suroboyo terpaksa mundur ke luar kota.

Yang musti digarisbawahi, bahwa yang disebut “arek-arek Suroboyo” itu bukan berarti hanya mereka yang ber-KTP Surabaya saja. Pada saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan negeri ini tahun 1945 banyak pemuda dari berbagai daerah yang berperang di kota Surabaya melawan tentara Sekutu yang diboncengi tentara Belanda yang tidak rela Indonesia tetap merdeka. Pertempuran di sekitar Jembatan Merah yang menewaskan Jendral Mallaby, juga peristiwa perobekan bendera Belanda di hotel Yamato (sekarang Majapahit) dilakukan oleh Arek-arek Suroboyo yang datang dari kota-kota lain, bahkan ada yang dari luar pulau. Jadi, dalam konteks sejarah, menyebut “Arek-arek Suroboyo” tidak boleh dimaknai hanya sebagai warga yang ber-KTP Surabaya. Termasuk, dalam konteks kisruh Balai Pemuda sekarang ini.

Lima tahun pasca kemerdekaan, tahun 1950, arek-arek Suroboyo kembali masuk ke kota dan Gedung Balai Pemuda dikuasai oleh Penguasa Militer Provinsi Jawa Timur dan sebagai pelaksana Penguasa Militer adalah Komando Militer Kota Besar (KMKB) Surabaya.

Tahun 1957: Dalam rangka pembebasan Irian Barat, Gedung dan seluruh inventarisnya oleh Penguasa Militer Provinsi Jawa Timur diserahterimakan kepada Ketua Dewan Pemerintah Daerah Kota Praja Surabaya. Bertindak sebagai Penguasa Militer Daerah Provinsi Jawa Timur adalah Panglima Tentara Teritorium V/Brawijaya selaku Penguasa Militer atas Daerah Provinsi Jawa Timur no: KKM. 1223 / 12 / 1957 tanggal 10 Desember 1957.

Pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 12 Desember 1957 Balai Pemuda diserahterimakan, selaku Komandan KKMB Surabaya dari Letkol. Soerijoto kepada  R. Istidjab Ketua Dewan Pemerintah Daerah Kota Praja Surabaya.

Masih tahun 1957 pemerintah daerah memberi nama Balai Pertemuan Umum  dengan nama Balai Pemuda. Sesuai dengan fungsinya sebagai pertemuan umum, Balai Pemuda digunakan untuk kegiatan-kegiatan pertemuan, pesta, rapat, dan sebagainya kepada pihak yang ingin menggunakannya.

Pada periode 1963-1965 Balai Pemuda secara de facto dikuasai oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan menggelar banyak acara berupa pentas drama, sendratari, ludruk, wayang kulit, reog, musik, paduan suara serta pameran seni rupa. “Lekra sangat berpengaruh dan menguasai panggung kesenian waktu itu,” kata seniman pelukis Lekra, Gregorius Soeharsojo Goenito, kepada Majalah Tempo edisi khusus 30 September 2013. Lekra yang diindikasi merupakan onderbouw PKI itu akhirnya terusir dari Balai Pemuda.

 

Pusat Kegiatan Pemuda

Sejak itulah Balai Pemuda dijadikan pusat kegiatan para pemuda juga dipergunakan sebagai sekretariat sekaligus markas Front Pemuda. Pada awal Orde Baru dipergunakan sebagai markas KAMI dan KAPPI dalam menumpas G30S. Bahkan hingga sekarang masih tersisa ruang kecil sebagai sekretariat Yayasan 66, yang kemudian digunakan untuk sekretariat Festival Seni Surabaya (FSS) dan belakangan digunakan sebagai sekretariat panitia Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI).

Pada tahun 1971 – 1972 gedung sebelah timur mengalami kerusakan. Oleh Walikotamadya Surabaya R. Soekotjo diambil kebijakan untuk mengubah gedung ini dan selesai awal tahun 1972 terwujudlah gedung Balai Pemuda Mitra.

Di kompleks Balai Pemuda inilah pernah bermukim Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera) setelah sebelumnya berpindah-pindah. Menurut mantan mahasiswa Aksera, Nuzurlis Koto, semula Aksera bertempat di SMA Kompleks Wijaya Kusuma, Gedung Mayangkara, Gedung LPPUK Jl. Bubutan dan gedung Taman Siswa di Jalan Wuni. Aksera mendapat hibah sebuah bangunan di Balai Pemuda karena keikutsertaan dalam kepanitiaan PON VII (1969) seksi publikasi. Sejarah luar biasa ditorehkan oleh mahasiswa Aksera, baru kali itulah peristiwa olahraga dalam PON diabadikan dalam bentuk lukisan sketsa.

Para pentolan Aksera itulah yang kemudian melahirkan Dewan Kesenian Surabaya (DKS), diantaranya Gatut Kusumo, Amang Rahman, M. Roeslan, Krishna Mustajab, M. Daryono, ditambah beberapa seniman lain diluar Aksera seperti Agil H. Ali, Basuki Rahmat, Farid Dimyati, Wiwiek Hidayat, Hasyim Amir dan sebagainya.

Menurut Suparto Brata bahwa keberadaan DKS tidak terlepas dari peran Walikota Surabaya (saat itu) Soekotjo. Bahwa pada malam pertemuan tanggal 14-09-1971 itu Walikota membeberkan gagasannya akan memberikan ‘bantuannya’ kepada para seniman yaitu sebuah gedung kesenian (Balai Pemuda) yang sedang dibangun. Para anggota Dewan Kesenian Surabaya dilantik oleh Walikota Surabaya Kolonel Sukotjo pada tanggal 14 Februari 1972.

Pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 30 Juni 1972 lahirlah Bengkel Muda Surabaya – Dewan Kesenian Surabaya (BMS DKS) sebagai “sayap pemuda” DKS. Tetapi tidak lama kemudian BMS memisahkan diri dari DKS ketika BMS terlibat demo menolak kenaikan harga beras yang menjadikan pengurus DKS tidak menyukainya. BMS dan DKS akhirnya berdiri sendiri.

Kemudian sebuah peristiwa bersejarah terjadi tahun 1974 ketika diselenggarakan Festival Film Indonesia (FFI) di Jakarta dan Surabaya dengan sekretariat Panitia Daerah di kompleks Balai Pemuda. Gedung bekas sekretariat FFI inilah yang kemudian menjadi kantor sekretariat DKS. Hal ini berkat peran Gatut Kusumo sebagai sineas yang duduk dalam panitia FFI sebagai Ketua Komisi Ideal. “Saya saksi hidup, karena pada waktu itu saya jualan kaos FFI,” tutur seniman film Semar Suwito Yasin.

Tahun 1974 itu juga Balai Pemuda dipergunakan sebagai sekretariat Federasi Pemuda Indonesia dan KNPI dengan segala kegiatannya. Pada tahun 1979-1980 diadakan pemugaran gedung sebelah barat dan selesai tahun 1980, tidak terjadi perubahan bentuk gedung sehingga nilai sejarahnya masih terlihat seperti aslinya.

Periode setelah itu kompleks Balai Pemuda marak dengan berbagai kegiatan kesenian dan kepemudaan. Gedung Utama dan Gedung Merah Putih kerap digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pameran lukisan dan pementasan seni pertunjukan. Demikian juga Galeri DKS nyaris tidak pernah sepi dari pameran lukisan dan aktivitas kesenian lainnya. Tahun 1995 diselenggarakan Parade Seni WR Supratman selama 1 (satu) bulan penuh di gedung Merah Putih, Gedung Utama Balai Pemuda, Galeri DKS bahkan juga menggunakan pelataran.

 

Gara-gara DPRD

Sampai akhirnya pada tahun 1997 DPRD Kota Surabaya menempati sisi utara kompleks Balai Pemuda. Asal muasalnya, di lokasi ini hendak didirikan gedung aktivitas untuk pemuda dan kesenian dengan sponsor utama koran Surabaya Post. Namun dalam perjalanannya ada kerenggangan hubungan kerjasama antara Surabaya Post dengan pihak Pemkot Surabaya sehingga Surabaya Post mengundurkan diri. Pemkot yang sudah kadung keluar anggaran akhirnya mengalihkan peruntukan bangunan itu menjadi perkantoran DPRD Kota Surabaya.

Yang kemudian terjadi, dengan adanya gedung DPRD ini sekaligus menyingkirkan gedung Lokaseni, kantor DKS dan juga Galeri DKS. Sementara itu BMS yang semula berkantor di sisi timur Balai Pemuda kemudian menempati bangunan yang pernah digunakan oleh Aksera karena pada tahun 1988 ketika dilakukan renovasi Balai Pemuda, Aksera mendapat ganti sebuah rumah di kawasan Dukuh Kupang Surabaya.

Ketika gedung eks Aksera itu kemudian dibongkar, BMS kembali menempati  sisi timur Balai Pemuda yang sekarang menjadi Galeri DKS, bersebelahan dengan sekretariat DKS. Hingga kemudian DKS dan BMS pindah ke bangunan kecil yang berada di belakang masjid As Sakinah.

Sampai akhirnya, tepatnya hari Jumat 20 Oktober sebelum dilaksanakan sholat Jumat, takmir masjid As Sakinah mengumumkan bahwa solat Jumat ini adalah yang terakhir karena bangunan masjid akan dibongkar dan di atasnya akan dibangun gedung type B kantor DPRD Surabaya.

Banyak pihak kaget luar biasa. Ini sudah keterlaluan. Inilah saat yang tepat melakukan perlawanan. Ketika berulangkali Pemkot mengirimkan surat pengusiran terhadap BMS, DKS dan semua seniman yang berbasis di Balai Pemuda, para seniman masih berdiam diri. Sementara KNPI mengalah, bersedia disingkirkan sekretariatnya dari kompleks Balai Pemuda. Pemkot kali ini kena batunya, karena dengan merobohkan masjib maka dia bukan hanya berhadapan dengan para seniman melainkan juga berbagai pihak yang berkepentingan dengan keberadaan tempat ibadah umat Muslim itu. Gerakan Pemuda Anshor Surabaya langsung bereaksi, memasang spanduk “Kembalikan Masjid Kami”. Tidak lama kemudian disusul mereka yang mengatasnamakan Komunitas Bambu Runcing Surabaya (KBRS).

Protes terhadap pembongkaran masjid ini ditanggapi enteng oleh Pemkot, yang berdalih, “nanti akan dibangunkan kembali masjid yang lebih bagus, lebih besar di tempat yang sama.” Sepintas jawaban ini melegakan dan malah menarik simpati sebagian masyarakat terhadap “niat baik” Pemkot dan malah menyalahkan seniman yang protes. Tetapi, yang terjadi sesungguhnya adalah, bahwa masjid yang dimaksud itu berada di lantai terbawah dari Gedung DPRD Kota Surabaya yang berlantai 8 (delapan). Kalau sudah seperti itu, apakah masih layak disebut masjid? Kalangan ulama dari NU, Muhammadiyah dan MUI menentang rencana Pemkot ini. Bahwa bangunan masjid harus berdiri sendiri, tidak boleh di atasnya untuk perkantoran.

Sementara proses pembongkaran masjid belum seluruhnya terjadi, diam-diam datanglah beberapa orang petugas Satpol Pamong Praja (PP) ke kantor DKS yang memerintahkan agar menghentikan kegiatan dan mengosongkan bangunan. Ini memang hanya soal waktu, bahwa pembongkaran masjid itu merupakan langkah awal untuk menyingkirkan BMS dan DKS secara paksa. Akan digusur seperti yang terjadi pada masjid. Hanya beberapa meter dari situ sudah siap buldoser yang akan melumatkannya.

Dalam perkembangannya, nampaknya di kalangan dalam DPRD Kota Surabaya mulai “melunak” (?). Sudah ada wacana bahwa masjid akan dikembalikan sesuai aslinya di tempat semula. Tetapi bagaimana dengan keberadaan DKS dan BMS? Jangan-jangan gedung berlantai delapan itu tetap dibangun mengelilingi sisi utara, barat dan selatan bangunan masjid. Secara fisik memang tidak ada bangunan di atas masjid secara langsung, tetapi di sekitarnya tetap dibangun ruang perkantoran untuk DPRD Kota Surabaya. Praduga seperti ini bukan tidak mungkin terjadi. Karena secara perhitungan anggaran pembangunan gedung DPRD itu harus segera dilaksanakan. Pemkot sudah menjalankan jurus Dewa Mabuk. Pokoknya bongkar dulu, urusan belakangan.

Apakah Pemkot anti kesenian? Tentu saja mereka akan membantah. Mereka akan beralasan bahwa fasilitas kesenian berupa Balai Budaya sudah disediakan gratis untuk seniman. Hampir setiap hari diselenggarakan kursus melukis, menari dan musik untuk masyarakat umum, semuanya gratis. Bahkan Walikota sendiri mengaku dirinya adalah juga seniman, suka tari dan lukisan, serta kabarnya akan membaca puisi dalam sebuah acara di Balai Pemuda nanti.

Tetapi yang menyedihkan adalah, pemahaman Pemkot terhadap kesenian hanya dimaknai secara fisik belaka, tidak memperhitungkan manusianya. Konon akan dibangun tempat yang lebih cantik. Lebih molek. Lebih futuristis. Lebih terbuka. Layaknya Museum Louvre di Paris. Sementara masyarakat dan seniman hanya diposisikan sebagai objek belaka. Pemkot berdalih akan membangun Balai Pemuda lebih bagus, lebih megah, dan disediakan tempat serta kesempatan seluas-luasnya bagi seniman, tetapi pada saat yang sama Pemkot akan mengusir BMS dan DKS keluar dari Balai Pemuda, dipindahkan ke kompleks THR. Apalah artinya kompleks Balai Pemuda tanpa seniman? Elemen Pemuda yang direpresentasikan oleh KNPI sudah terusir, tetapi tidak segampang itu mengusir seniman.

Bayangkan, manakala gedung DPRD jadi dibangun di lahan Balai Pemuda, maka seluruh halaman Balai Pemuda akan berubah menjadi areal parkir untuk DPRD Kota Surabaya. Ini sudah keniscayaan, karena selama ini DPRD kesulitan lahan parkir. Bagaimana mungkin sebuah ruang publik akan diubah menjadi lahan perkantoran?  Penyebutan bahwa Pemkot akan menyulap Balai Pemuda menjadi Louvre itu bisa jadi hanya pemanis belaka.

Pemkot musti belajar sejarah keberadaan Balai Pemuda sebagaimana diuraikan di atas. Bagaimanapun keberadaan gedung DPRD itu memang sudah tidak memenuhi syarat, tidak layak lagi menempati lahan sesempit itu. Tetapi solusinya bukan lantas membangun gedung baru di lahan Balai Pemuda, melainkan pindahkan saja gedung DPRD ke tempat lain. Jangan mengusik area publik milik pemuda dan seniman. Jangan membangunkan macan tidur. Kita semua akan berdosa terhadap para pejuang yang sudah berdarah-darah dan menyabung nyawa mengusir Belanda dari kompleks Balai Pemuda.

Ketika saya lontarkan gagasan mengusir gedung DPRD Kota Surabaya ini melalui petisi online yang saya unggah 28 November 2017, sampai dengan tulisan ini dibuat (Sabtu siang) sudah tercatat 785 (tujuh ratus delapan puluh lima) pendukung. Silakan cek link di bawah.

Tinggal sekarang siapa yang lebih kuat bertahan. Para seniman sudah melakukan perlawanan dengan berbagai cara, termasuk melayangkan somasi kepada Walikota Surabaya. Kalau saja Pemkot ngotot merobohkan masjid, menggusur DKS dan BMS, maka sekalian saja dipasang plang: “Seniman dan Anjing Dilarang Masuk”.

Cak Roeslan Abdulgani, Cak Doel Arnowo, Bung Tomo dan para pejuang semuanya, sepurane sing akeh yo Cak, sak iki Londo ireng sedang kalap. Semoga sampeyan-sampeyan tetap tenang di alam baka, tidak terusik oleh kebodohan kami. Duuh Gusti. (*)

 

https://www.change.org/p/pemerintah-kota-surabaya-pindahkan-gedung-dprd-kota-surabaya/fbog/37114948?recruiter=37114948&utm_source=share_petition&utm_medium=facebook&utm_campaign=share_for_starters_page

 

In category: Artikel
Related Post
no-img
DESA BUNGURASIH BUKAN DARI MBAH BUNGUR

Oleh Henri Nurcahyo   BUNGURASIH selama ini dikenal karena keberadaan ...

no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...