Reportase

Perjalanan Imajinasi Karya Sembilan Perupa

no-img
Perjalanan Imajinasi Karya Sembilan Perupa

JAKARTA: Pameran Lukisan “Semanggi Suroboyo” di Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia Jakarta, menunjukkan keberagaman karya sembilan perupa yang memesona. Tidak satupun dari mereka yang mengesankan kemiripan satu sama lain. Sebanyak 52 lukisan dari 9 perupa Surabaya ini berhasil menyajikan 9 pesona yang masing-masing memiliki daya pikat tersendiri.

Dalam pameran yang berlangsung sejak hari Sabtu malam (13/01) hingga tanggal 21 Januari itu pengunjung seperti berada dalam sebuah ajang perjamuan dengan sembilan menu yang berlainan rasanya. Tinggal dipilih sesuai selera, masing-masing memiliki daya tarik yang berbeda, diantara mereka juga tidak ada yang saling berebut untuk menonjol sendiri. Tidak ada yang yunior maupun senior, meski dari sisi usia keberagaman perupa ini berkisar dari 76 tahun (Makhfoed) hingga 51 tahun (Widodo Basuki).

Tawaran menu berupa berwisata dalam imajinasi kupu-kupu bisa berlama-lama memandang karya Buggy Budiyanto  dengan objek kupu-kupu beterbangan. Bagi Buggy, kupu-kupu adalah inspirasi dan ide-ide kreatifnya, dengan keindahan warna-warni sayapnya yang beterbangan dengan indahnya. Pada sebuah karya hitam putih misalnya, menggambarkan sosok perempuan berjalan dalam kerumunan kupu-kupu dari ujung kaki hingga kepala. Juga seorang perempuan telanjang bulat dalam kerumunan kupu-kupu beterbangan hingga menuju rembulan. Imajinasi apakah yang didapatkan dari karya-karya seperti ini? Masing-masing orang tentu memiliki pengalaman yang berbeda.

Imajinasi ke dalam dunia etnik tradisi disuguhkan oleh Amdo Brada lewat karya-karya dekoratifnya. Jebolan ASRI Yogyakarta ini memang sudah lama dikenal dengan lukisan bernuansa primitif yang segera menggiring ingatan pada ekspresi karya suku dari Asmat,  Dayak atau juga dari daerah lainnya. Tetapi Amdo tidak meniru mentah-mentah namun hanya mengambil spiritnya. Kelebihan Amdo adalah menyajikan bentuk-bentuk geometris dalam komposisi yang tidak mengulang. Inilah yang membedakan dengan seni batik.

 

Setyoko juga menghadirkan beberapa karya geometris juga, tetapi berbeda dengan Amdo yang berakar dari seni tradisi, Setyoko menguarkan semangat kontemporer. Nafas kontemporer itu pula yang terdapat pada sejumlah karya yang menyajikan objek bunga dalam vas. Geometris karya Setyoko bukanlah bentuk-bentuk komposisi dengan garis-garis yang rapi melainkan ditorehkan dengan tarikan ekspresif yang bergelora. Apa yang hendak dikatakan Setyoko adalah bahwa keindahan itu tidak harus dengan bermanis-manis dalam kerapian.

Sebagaimana namanya, Sad Indah Ambawati menghadirkan karya-karya yang indah namun tidak terkesan klise. Gambaran padang ilalang ataupun hamparan lautan cukup dilukiskan dengan sapuan besar yang tipis-tipis tanpa membuat jelas wujud fisiknya. Yang menarik, di atas sapuan yang tipis itu dia menorehkan pelototan cat langsung dari tubenya untuk bentuk dan garis-garis tertentu. Perempuan yang terkenal sebagai desainer busana ini ternyata memiliki sense yang unik dalam mengekspresikan perasaannya. Jika dalam desain busana dibutuhkan kejelasan bentuk maka karya lukisnya cukup menghadirkan kesan-kesannya saja. Karyanya sederhana tetapi mampu mengundang pesona.

Karya Beni Dewo juga unik. Sepintas seperti mengedepankan bentuk-bentuk karikatural. Lima buah karyanya menghadirkan sosok perempuan. Ada yang perempuan berkacamata topeng  seperti tokoh superhero, ada perempuan bersuntingkan bunga kamboja di telinganya, perempuan lainnya ditampakkan dari samping tanpa riasan. Lantas, dua buah karyanya menggambarkan profil perempuan ternyata tidak memiliki wajah sama sekali. Hanya tampak bidang wajah, namun tanpa mata, hidung dan mulut sama sekali. Maka yang namanya kecantikan itu seperti apakah?

Ada sebuah lukisan berjudul “Lomba Makan Uang” karya M Fauzi yang sungguh satir. Objek lukisan ini mengingatkan permainan anak-anak yang suka dilombakan dalam acara perayaan Tujuhbelasan di kampung-kampung. Dalam lomba itu sejumlah uang logam ditancapkan pada sebuah jeruk besar yang diolesi dengan jelaga hitam. Pada lukisan ini nampak beberapa orang dewasa ikut lomba dan dua diantaranya berkepala seperti tokoh raksasa dalam pewayangan, dimana salah satunya mengenakan jas dan berdasi. Karya-karya Fauzi memang sering menggunakan idiom anak-anak untuk menghadirkan persoalan filosofis dunia dewasa. Berlama-lama memandang karyanya serasa mengembara kemana-mana.

Karya yang bernuansa filosofis juga dihadirkan oleh Yunus Jubair dalam lukisan bergaya surrealis. Memang tak bisa terelakkan bahwa karya-karyanya masih mengingatkan pada lukisan ayahnya, Amang Rahman. Beberapa idiom bentuk yang khas Amang juga dihadirkan dalam kanvas Yunus. Hanya bedanya, karya Yunus lebih rumit dibanding lukisan Abinya yang cenderung simpel. Dengan demikian agaknya Yunus ingin tampil beda dan tidak terjebak menjadi epigon Abinya. Warna-warna yang digunakannya juga bukan warna-warna primer. Kalau toh Yunus memang berniat menjadi penerus Amang Rahman, bukankah tidak ada salahnya? Salah satu karyanya, “Resonansi Jiwa” misalnya, takkan pernah bosan menatapnya berlama-lama.

Widodo Basuki juga menghadirkan karya-karya yang filosofis. Wartawan majalah berbahasa Jawa “Jayabaya” ini memang banyak melukis dengan bersumber dunia pewayangan. Khasanah sastra Jawa dan meditasi Budhis juga menjadi sumber inspirasinya. Dan sejak menjalankan ibadah Haji belum lama ini, ternyata membawa pengaruh tersendiri.  Salah satunya yang menghadirkan Tugu Adam Hawa di Jabal Rahmah. Toh Widodo tak kehilangan selera humornya dengan menghadirkan sosok Petruk mengenakan jeans dan jas yang terbuka di bagian bawah memperlihatkan sebuah kapak diselipkan di ikat pinggang. Judulnya, “Petruk Jaman Now”. Menarik dan menggelitik.

Lantas, bagaimanakah memaknai karya-karya Makhfoed? Judulnya yang selalu menggunakan kata “Perjalanan” tidak banyak membantu untuk memahami apa yang tersaji di kanvas. Ciri khas lukisan Makhfoed memang tidak pernah melukiskan bentuk-bentuk yang sudah dikenal dalam dunia sehari-hari. Kalau toh sekilas ada yang mengingatkan suatu benda, itu hanya sedikit kemiripan belaka. Dengan tanpa petunjuk sama sekali itulah justru pelukis jebolan Aksera ini membebaskan orang yang mengapresiasi dengan bebas sebebas-bebasnya. Terserah mau dimaknai sebagai apa dan bagaimana memaknainya. Hanya saja, seringkali dengan memiliki kebebasan justru orang malah bingung sendiri. Bukan salah pelukisnya kan?

Begitulah, sembilan perupa dengan karya-karya yang berbeda telah menyajikan sebuah paket perjalanan wisata imajinasi yang memesona. Sebagaimana sebuah perjalanan wisata, orang dapat menikmati beraneka suguhan yang memikat dengan daya pesona yang berbeda-beda. Hanya mereka yang mau membuka hatinya yang akan mendapatkan banyak hal dari perjalanan ini. Dan ternyata, judul karya Makhfoed “Perjalanan” tanpa sengaja justru menjadi pemandu dalam pameran lukisan ini. (henri nurcahyo)

In category: Reportase
Related Post
no-img
JELAJAH BUDAYA CANDI BELAHAN

PASURUAN: Selepas dari Candi Gunung Gangsir rombongan Jelajah Budaya Komuni...

no-img
JELAJAH BUDAYA CANDI GUNUNG GANGSIR

PASURUAN: Acara bulanan rutin Dialog Budaya Komunitas Seni Budaya BrangWeta...

no-img
Pergelaran Panji: Yuyu Kangkang Bukan Kepiting

KEDIRI: Pergelaran Budaya Panji yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan ...

no-img
Jelajah Budaya Tirtayatra (1) MENGENANG MADE WIANTA

Catatan Henri Nurcahyo TIRTAYATRA adalah perjalanan ritual ke tempat-tempat...

no-img
Perjalanan Imajinasi Karya Sembilan Perupa

JAKARTA: Pameran Lukisan “Semanggi Suroboyo” di Balai Budaya, J...

no-img
Pentas Ludruk “Bui” Rasa Teater 

Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara (IBSN) mementaskan naskah “Bui...