Kontemplasi Merunduk Beni Dewo
Catatan Henri Nurcahyo
Beni Dewo pameran tunggal di AJBS Art Gallery Surabaya. Tema lukisannya adalah Humility yang dimaknai sebagai andhap asor atau kerendahan hati. Lukisannya berupa figur-figur yang semuanya dengan kepala tertunduk, menunduk atau merunduk.
Menurut Beni, Humility merupakan falsafah hidup merendahkan diri tanpa menghilangkan wibawa diri. Merunduk seperti tanaman padi yang siap dipanen. Bahwa sikap menunduk menunjukkan sikap rendah hati, tidak sombong dan semacamnya.
Makna kata humility menurut kamus adalah ‘kesederhanaan, tidak berpura-pura, tidak menganggap diri sendiri lebih baik daripada orang lain’. Definisi lainnya menyebutkan, “punya anggapan merendah terhadap diri sendiri, sifat penurut”. Jadi, humility sebagai tema pameran ini adalah yang salah satunya divisualkan dengan sikap menunduk.
Dengan menunduk berarti pasrah atas kekuasaanNYA, lantaran manusia tidak bisa mutlak memastikan apa yang akan terjadi esok hari. Bayangkan, pameran tunggal ketujuh ini sudah dipersiapkan dengan matang, namun hanya kurang dari 24 jam sebelum pembukaan pameran, tahu-tahu Beni mengalami kecelakaan yang lumayan parah. Sebuah taksi menyeruduk dari arah belakang, Beni tersungkur ke depan dengan luka-luka yang cukup serius di wajah, tangan dan kaki. Tiga buah giginya pun rompal.
Namun untunglah acara pembukaan Jumat malam (20/4) itu kemudian secara spontan ditangani teman-temannya berlangsung lancar dan sukses sebagaimana kidungan pelawak Kartolo yang membukanya: “Tuku kopi dicampur es, semoga acara ini lancar dan sukses.” Beni memang terpaksa tidak bisa menghadiri pembukaan pamerannya sendiri, namun puluhan lukisannya sudah mampu berbicara sendiri.
Pesannya sudah cukup gamblang, tegas dan sangat kontekstual dengan situasi sosial selama ini. Bahwa di tengah berbagai kalangan yang saling menonjolkan kekuatan dan pamer kepongahan sekarang ini, rasa-rasanya sangat dibutuhkan sikap untuk mau dan bersedia merunduk. Sikap yang tidak adigang, adigung dan adiguna, sikap yang tidak sok kuasa, melainkan sikap yang mau kontemplasi atas semua kesemrawutan dunia ini. Merunduklah dalam-dalam, sebagaimana padi yang makin berisi.
Dan yang menarik, dari figur-figur yang merunduk itu, ada yang tidak memiliki mata, hidung dan mata (lukisan berjudul Forget it). Lukisan ini punya pesan kuat bahwa selama ini orang dikenali melalui wajahnya. Wajah itulah yang memunculkan pembedaan satu sama lain. Kita bisa kenal dengan seseorang kalau kenal wajahnya. jadi, kalau tak tahu wajahnya, lupakanlah (forget it).
Sebagian besar karya Beni juga tanpa lubang mata, dan hampir semuanya tampak dalam posisi dari samping. Hal ini bisa dimaknai bahwa sikap merunduk itu tidak membedakan identitas seseorang. Merunduk itu berlaku untuk siapa saja, tanpa kecuali. Bahkan ketika sedang memiliki kekuasaan pun diperlukan sikap merunduk, sebagaimana digambarkan dalam salah satu lukisannya, ada figur merunduk disa
Gundul-gundul Pacul
Demikian pula sebuah lukisan berujud perempuan gundul dengan judul My Crown. Bukankah selama ini rambut (khususnya bagi perempuan) identik dengan mahkota? Bagaimana kalau kepala tanpa rambut? Apakah “gundul” itu juga bermakna mahkota (crown)?
Hal ini mengingatkan lagu anak-anak Gundul-gundul pacul gembelengan. Gundul adalah kepala tanpa rambut dan pacul berarti cangkul sedangkan gembelengan dalam bahasa Indonesia berarti sombong. Jadi gundul adalah kepala tanpa rambut yang berarti kepala tanpa mahkota. Pacul yang berarti cangkul diartikan untuk melambangkan rakyat yang kebanyakan adalah petani. Gundul-gundul Pacul dapat dimaknai bahwa seorang pemimpin itu harus bisa menyejahterakan rakyatnya karena pemimpin yang sesungguhnya bukahlah orang yang diberi mahkota atau kursi kekuasaan melainkan amanat.
Dalam lagu yang konon diciptakan Sunan Kalijaga itu mengandung pesan dakwah bahwa seorang pemimpin mempunyai tugas berat untuk nyunggi wakul (menjalankan amanat rakyat) jangan sampai ngglempang (jatuh) agar nasi (dalam wakul itu) tidak berserakan sehingga tidak bisa dimakan. Dan pesan inilah yang disampaikan oleh Beni dalam lukisan ini. Humility, jangan sombong, jangan mentang-mentang.
Bukan hanya terhadap orang lain, pesan itu oleh Beni juga disampaikan pada dirinya sendiri sebagaimana dua lukisannya yang menggambarkan sosok berkepala gundul, menunduk, lukisan yang satu ke arah kiri, lukisan lain sebaliknya. Kedua karya ini berjudul So do I # 1 dan So do I # 2. Jelas sudah, kepada siapa pesan ini ditujukan.
Meski demikian, ada beberapa lukisan lama yang tetap berada dalam tema merunduk namun memiliki tampilan visual yang berbeda. Seperti misalnya “Triumph of Humility” yang melukiskan sosok perempuan dalam suasana pesta sambil membawa segelas minuman. Atau juga lukisan yang justru berlawanan dengan sikap rendah hati itu sendiri, sebagaimana judulnya “Lost of Humility” yang menggambarkan perempuan dengan mata bertopeng, bermahkota dan memegang pistol. Ada simbol kekuasaan dan kekuatan. Lukisan yang satu ini justru merupakan kritik terhadap hilangnya kerendah-hatian sebagaimana judulnya.
Lantas ada satu lukisan yang sangat berbeda sama sekali. Bukan menggambarkan figur orang melainkan sebuah palinggih yang biasa dijadikan orang Hindu Bali sebagai “penunggu pekarangan”. Keberadaan palinggih yang disucikan ini dimaksudkan agar penghuni rumah senantiasa berada dalam lindunganNYA, tenteram, rahayu serta dijauhkan dari bencana (niskala). Di pelinggih itulah biasa diletakkan sajen berupa aneka bunga tabur dalam wadah wadah janur oleh pemilik rumah.
Apa maksudnya ini? Dari judul lukisannya bisa ditebak arahnya: Unity in Humility, bahwa semua humility alias sikap andhap asor dan merunduk itu bermuara untuk menyatu pada Yang Maha Kuasa. Itulah pesan besar dari semua karya-karyanya dalam pameran ini. Jadilah manusia yang rendah hati, jangan congkak, jangan sok, karena semuanya itu akan kembali padaNYA.
Beni adalah lelaki yang rendah hati, tidak banyak bicara, dan dalam kesehariannya memang tidak suka menonjolkan diri. Dalam beberapa kali pameran tunggal sebelumnya dia memilih tema Kesemutan yang dilakukan hingga dua kali di galeri yang berbeda (2004 dan 2005) keduanya di Yogyakarta. Tema semut ini pertama kali memang dicetuskan dalam pameran tunggalnya di Surabaya (2004) dengan judul pameran Ada Gula ada Semut. Nampaknya Beni cukup terobsesi dengan makhluk bernama semut ini sehingga lelaki kelahiran Sidoarjo, 6 Januari 1970 ini menyebut dirinya little ant (semut kecil). Pamerannya kali inipun disebut “little ant, art exhibition by beni dewo.”
Pada akhirnya, menunduk atau merunduk adalah juga sikap dalam berdoa. Menunduk memandang ke tanah adalah sebuah pemakluman bahwa tanah adalah asal usul manusia diciptakan dan tempat manusia dikuburkan. Manusia berasal dari tanah dan akhirnya kembali juga ke tanah. Para pelayat pun menunduk saat menghormat jenazah yang siap diberangkatkan ke liang lahat. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Dari tanah kembali ke tanah.
Kebetulan pula, tanggal 22 April adalah Hari Bumi. Jadi menunduklah, pandanglah ke tanah, ke bumi, yang akan memelukmu penuh kasih, lebih lama dari selama-lamanya. (*)
HENRI NURCAHYO, budayawan