Lukisan Cat Air Bukan Underdog
Lukisan dengan media cat air (aquarel) bukan lagi karya underdog atau yang dapat diremehkan begitu saja. Ada kesulitan tersendiri menggunakan cat air. Namun dalam satu tarikan nafas yang sama justru itulah kelebihan dan sekaligus karakternya yang unik. Dibandingkan media akrilik dan cat minyak, melukis dengan menggunakan cat air tidak bisa diralat.
Penggemar lukisan cat air semakin berkembang, bahkan membentuk komunitas tersendiri, yaitu Komunitas Lukisan Cat Air Indonesia (Kolcai). Gerakan pelukis aquarel ini bagaikan berada di jalan yang sunyi di tengah gegap gempita lukisan dengan media akrilik dan cat minyak. Maka ketika Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jawa Timur menyelenggarakan pameran lukisan cat air di Galeri Prabangkara Taman Budaya Jawa Timur (23-27/7) bagaikan sebuah oase menyejukkan iklim seni rupa Surabaya.
Pameran yang bertema Water Color Unlimited itu sekaligus menegaskan bahwa dengan menggunakan media cat air dapat menerobos batas-batas yang selama ini seolah-olah membatasi ekspresi pelukis. Bahwa dengan media cat air bukan lagi hanya mampu melukis lansekap atau lukisan realis. Lukisan cat air tidak lagi hanya sebatas lukisan yang transparan dengan warna-warna natural dan lembut. Dalam pameran yang diikuti oleh 26 perupa dari berbagai kota di Jatim ini batas-batas tersebut telah terlampaui. Karya Nur Ilham (Banyuwangi), Wahyu Sigit Priyo Utomo alias Sigit Crueng (Sidoarjo) atau Yoes Wibowo (Pasuruan) adalah sebagian contoh karya yang sudah melewati garis keterbatasan itu.
Memang kebanyakan karya masih dapat dikenali dengan mudah menggunakan cat air lantaran sifatnya yang transparan, warna-warna natural dan lembut. Tetapi ada juga yang sepintas agak sulit menebak medianya karena secara visual lukisannya bisa dibuat dengan media akrilik atau lainnya. Misalnya dua karya Hamid Nabhan, lukisan “Kharisma Dayak” karya Bing Ufa (Qurrotul Fazah) dari Sidoarjo, “Kumambang Watu Item” karya F. Widodo Putra (Dodoth) dari Kediri, “Jati Diri” karya Mohamad Marzuki (Jember), Nur Ilham (Banyuwangi), Sigit Crueng, Tedjo Konte, dan Yoes Wibowo.
Kesulitan dan sekaligus keunikan lukisan aquarel adalah ketika sudah menorehkan satu warna ke atas kertas atau kanvas, tidak bisa lagi ditimpa dengan warna lainnya dengan maksud meralatnya. Namun kesulitan ini oleh beberapa pelukis justru dimanfaatkan untuk memunculkan efek-efek tertentu yang tidak mungkin dicapai dengan media akrilik atau cat minyak. Bahkan lukisan aquarel mampu meniru lukisan dengan media lain, dan belum tentu yang sebaliknya.
Terlepas soal teknis, sebuah karya seni rupa memang dinilai dari “rupanya”. Apapun medianya, bagaimanapun proses dan tekniknya, kalau hasilnya “begitu-begitu” saja ya tetap saja belum berhasil dianggap karya yang baik. Dalam bahasa olok-olokan arek Suroboyo, “Elek ae durung.” Karena itu, hanya membanggakan soal teknis saja, itu masih dalam tahapan dasar. Pertanyaannya adalah, apakah karya tersebut memang sudah “berbicara?”
Anin Naim (Tuban) misalnya, malah membuat karya nonfiguratif (abstrak) penuh dengan garis-garis di atas torehan warna-warna. Menariknya, karyanya malah berjudul “Memahami Batas”. Mohamad Marzuki (Jember) menampilkan karya aquarel di atas dua panel kanvas yang cenderung surrealistis, Je Muhamad dan Yoes Wibowo dengan karya Pasar Pabean 1 dan 2 juga memberikan tawaran yang menarik.
Meski sudah ada upaya untuk “tidak terbatas” sebagaimana temanya, tetapi memang belum sepenuhnya maksimal, karena sebetulnya masih dapat dilakukan upaya untuk eksplorasi menggunakan media cat air. Pada tahapan ekstrim, belum ada yang berani menggunakan pisau palet atau bahkan teknik pelototan misalnya. Mengapa tidak?
Dengan kata lain, penggunaan media cat air yang non-mainstream adalah satu hal, sedangkan nampakan visualnya adalah hal yang lain. Hal yang sama berlaku untuk media lain seperti arang kayu (charcoal), tanah liat (seperti Zaenal Beta dari Susel), ada yang menggunakan teknik bakar obat anti nyamuk (pelukis dari Borobudur), lumpur Lapindo juga pernah digunakan sebagai media lukis atau bahkan pernah ada pelukis Palembang yang menggunakan darahnya sendiri sebagai medianya.
Sebagai langkah apresiasi, setidaknya pameran ini patut diacungi jempol, karena kelemahan pelukis (Jatim khususnya) adalah kemiskinan materi atau media lukisnya. Sudah terlalu banyak pelukis yang menggunakan meda akrilik atau cat minyak, belum nampak keberanian melakukan eksplorasi media lainnya. Bagaimana hasilnya, itu soal nanti. Begitulah. (henri nurcahyo)