Artikel

Pertanyaan Panjang Film “Debu Muara”

no-img
Pertanyaan Panjang Film “Debu Muara”

Catatan Henri Nurcahyo

MENONTON gala premier film “Debu Muara” bagaikan diberondong pertanyaan bertubi-tubi sejak awal hingga akhir. Serangkaian pertanyaan itulah yang kemudian membuat penasaran dan menuntut jawaban. Namun hingga film sepanjang 1,25 jam itu usai pertanyaan-pertanyaan tetap tak terjawab. Apakah pertanyaan memang harus ada jawaban? Bagaimana kalau jawaban itu sendiri adalah juga sebuah pertanyaan? Manusia itu misteri, hidup itu juga misteri, itulah pertanyaan abadi.

Film ini adalah karya terakhir Juslifar Muhamad Junus yang tak sempat diselesaikan lantaran keburu meninggal dunia. Lelaki kelahiran Surabaya, 24 November 1970 ini dikenal sebagai pekerja keras film independen dan dokumenter, penulis cerpen dan mengelola Teater Jaguar yang melahirkan banyak aktor. Lebih dikenal dengan nama panggilannya, Ujang, bapak dua putera dan puteri ini terbaring sakit beberapa lama di rumahnya di kawasan Kutisari Selatan hingga menghembuskan nafas terakhir  11 Desember 2018. Selain menulis naskahnya, Ujang juga menjadi sutradara bersama dengan Gatot Sunarya, anak didiknya di Teater Jaguar. Namun sepeninggal Ujang, film yang dibuat sejak tahun 2017 inilah yang harus diselesaikan sendiri oleh Gatot meski masih ada tambahan syuting adegan baru.

Gatot menuturkan, pada tahun 2017 masih syuting tahap pertama bersama dengan Ujang, kemudian dilanjut tahap kedua tahun  2018. Namun pada akhir tahun itu Ujang meninggal dunia. Padahal semua masih berupa file mentah. Tak ingin kerja menjadi sia-sia, maka pada tahun 2019 Gatot berinisiatif mengumpulkan semua pemain dan mereka sepakat melanjutkan film itu hingga tuntas. Mereka berpendapat, hanya Gatot yang paham apa maunya Ujang. Maka Gatot mengambil alih tugas sutradara sendirian. Seluruh dialog dilakukan dengan teknik dubbing, karena tidak mungkin mengambil suara aslinya lantaran lokasi syuting di area tambak.

Begitulah, sepanjang tahun 2020 dilakukan proses editing ketat hingga selesai dan ditayangkan perdana hari Minggu (29/11) lalu. Meski hujan turun sejak sore, tidak menjadi halangan bagi 150-an penonton menyaksikan pemutaran film di di gedung Grha Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jatim, Jalan Wisata Menanggal, Surabaya. Kecuali soal kursi, gedung pertemuan ini berhasil disulap menjadi gedung bioskop setara sinepleks XXI, akustik dan tata suara yang apik, serta layar lebar LED. Kalau tak ada halangan pandemi, memang seharusnya ditayangkan di gedung bioskop yang memang didesain untuk pemutaran film.

Cerita film ini perihal seorang perempuan bernama Romlah yang dirantai suaminya sendiri di sebuah gubuk terpencil di tengah area pertambakan. Perlakuan lelaki itu sangat tidak manusiawi, termasuk mengomersilkan isterinya untuk menjadi pemuas nafsu bejat para nelayan. Demikian pula perlakuannya terhadap seorang pemuda berkebutuhan khusus bernama Jono yang juga tinggal di gubuk itu, yang selalu dipanggilnya Curut. Ketika datang seorang lelaki penjual kain (Suryanto) hendak menolongnya, Romlah malah menolak. “Aku isterinya,” kilahnya.

Hingga suatu ketika Toha, nama suami itu, tenggelam di laut ketika sedang mencari ikan bersama teman-temannya. Barulah Romlah bersedia diajak pergi oleh Suryanto karena mengira Toha sudah mati. Namun tanpa diduga Toha masih hidup. Dia muncul kembali. Jono yang semula hendak diajak pergi oleh Romlah, diancam dengan belati di lehernya. Ancaman Suryanto agar melepas Jono tak digubris Toha, malah belati Toha menghabisi nyawa Jono. Suryanto berang, terjadilah perkelahian, Toha dihajar, namun hasil akhirnya Suryanto kalah dengan rantai besi mencekik lehernya. Romlah melarikan diri. Toha tenang saja. Dia yakin perempuan yang selalu dipanggil “Anjing” itu akan kembali.

Romlah memang kembali, sebelum diam-diam memasukkan bubuk racun yang pernah diberi Suryanto ke dalam gelas minuman Toha. Kali ini Romlah berwajah garang, tidak lagi loyo tak berdaya seperti yang sudah-sudah. Apalagi Romlah tahu bahwa Toha sudah menenggak minuman beracun. Toha tumbang. Adegan berikutnya, tahu-tahu tubuh Toha sudah terikat dirantai pada sebuah tonggak. Kali ini Romlah benar-benar melampiaskan pembalasannya. Dia marah sepuasnya, menempeleng wajah Toha, hingga menyiram dengan air kencingnya.

Kemudian Romlah melenggang pergi. Menyusuri pematang tambak. Toha masih terikat di tonggak. Tidak lagi bertelanjang dada dan bercelana pendek, namun mengenakan daster lusuh milik Romlah. Entah bagaimana bisa berganti pakaian. Dan entah bagaimana pula nasib mayat Suryanto dan Jono.

Hingga suatu ketika, Romlah sudah hidup normal, menjaga warung sambil menggendong anak. Kemudian ada lelaki membeli rokok. Romlah terbelalak kaget luar biasa. Lelaki itu adalah Toha.

Adegan di  sebuah warung itulah yang mengawali film ini. Lantas flashback panjang hingga kembali lagi ke warung, dimana Romlah dan Toha hanya saling pandang. Tidak ada pembicaraan apa-apa. Tersirat wajah ketakutan pada Romlah. Sedangkan Toha berlalu begitu saja seusai mendapatkan rokok yang diberikan Romlah. Tamat.

***

Film ini memang tidak memberikan jawaban atas persoalan kemanusiaan di gubuk terpencil di tengah areal pertambakan itu. Justru film ini malah menghadirkan pertanyaan-pertanyaan sehingga penonton membawa renungan sambil pulang. Dengan kata lain, apalah artinya menonton film lantas memeroleh jawaban atas persoalan? Ini kan bukan film penerangan program pemerintah? Kira-kira seperti itulah yang dimaui oleh Ujang.

Berbagai pertanyaan dan kejanggalan dalam film ini sebetulnya dapat diurai dengan pendekatan semiotika, yakni dengan memosisikan berbagai kejanggalan itu sebagai sebuah tanda (sign). Yang dapat dilakukan dalam menonton film ini adalah bagaimana menafsirkan makna tanda-tanda tersebut. Sebagai sebuah penafsiran, memang belum tentu sama dengan yang dimaksudkan pembuatnya. Dan memang tidak harus sama. Bisa multi interpretable, banyak penafsiran. Bahkan, ketika si pembuat tidak bermaksud memroduksi sebuah simbol, bisa dipahami sebagai simbol oleh penanggapnya. Dari sini lantas masuk dalam kajian hermeneutika, ilmu tentang penafsiran.

Misalnya saja, mengapa para nelayan itu tega menyetubuhi Romlah yang sama sekali tidak berdaya? Bahkan ketika Romlah dalam posisi terikat tangan dan kakinya, masih saja beberapa lelaki berebut menyetubuhinya. Inilah “kejanggalan” yang justru merupakan simbol terhadap kemanusiaan yang mati di tengah masyarakat. Film ini ingin mengatakan, atas nama hawa nafsu maka rasa kasihan dan kemanusiaan dapat terkubur dalam-dalam.

Serangkaian pertanyaan lainnya adalah, apa alasan Toha menyandera isterinya sedemikian rupa dengan cara mengikatkan rantai di kakinya? Mengapa Toha sangat benci kepada Romlah dan terus-menerus menyiksanya? Lamat-lamat terdengar dialog sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, dimana Toha menyebut adik Romlah yang menjadi alasan bagi Toha berlaku bengis. Entah bagaimana persisnya.

Jika diposisikan sebagai simbol, maka ketidak-jelasan alasan Toha memasung isterinya itu bisa dimaknai bahwa perbuatan jahat itu bisa dilakukan tanpa membutuhkan alasan apapun. Orang bisa saja melakukan kejahatan hanya demi kepuasan semata. Dalam psikologi disebut hal ini sebagai gangguan mental. Dimana pelaku mendapatkan kepuasan tersendiri dengan berbuat kejam atau sadis dengan cara menyakiti orang lain, bahkan pasangan hidupnya sendiri,  secara jasmani atau rohani.

Pertanyaan berikutnya, apakah Romlah tidak benar-benar ingin melarikan diri? Bukankah Toha seringkali meninggalkannya dalam tempo yang lama? Keberadaan sepotong rantai di kakinya sebetulnya tidak menghalangi Romlah melarikan diri. Toh dia masih bisa bebas berjalan karena rantai tersebut tidak diikatkan pada tonggak.

Inilah sikap ambigu dari perempuan yang diwakili oleh sosok Romlah. Pada umumnya perempuan lebih suka berbicara dengan bahasa perasaan ketimbang pikiran. Mereka kadang berpikir untuk mengatasi masalah namun pada saat yang sama perasaannya yang lebih mengemuka. Romlah ingin bebas dengan cara mencuri kunci borgolnya, tapi ketahuan dan gagal. Namun ketika Suryanto hendak membebaskannya, dia malah menolak dengan alasan masih menjadi isteri Toha. Tanpa bermaksud seksis, seringkali perempuan lebih suka “memelihara dan menikmati masalah” ketimbang menyelesaikannya secara rasional.

Yang juga terasa janggal, mengapa orang yang diajak ke gubuk itu harus ditutup kepalanya dengan karung? Apakah lokasi gubuk itu sedemikian terpencilnya sehingga warga tambak itu sendiri sampai sulit menemukannya? Kecuali kalau lokasinya berada di hutan belantara yang lebat dengan pepohonan. Areal pertambakan yang luas memang menjadi pemandangan yang indah dalam film ini meski sebetulnya panas sekali hawanya dalam kenyataan di lapangan.

Makna dari simbol ini adalah, bahwa sikap ketidak-pedulian masyarakat sudah sedemikian rupa terhadap sebuah persoalan kemanusiaan sehingga apa yang sebetulnya sudah nampak di depan mata malah disikapi seolah-olah tidak tahu menahu. Toha sengaja menutup kepala mereka dengan karung adalah sebuah tanda yang mengatakan, “ini urusanku pribadi, kalian tidak usah tahu dan ikut campur.”

Berapa lama peristiwa ini berlangsung? Berbulan-bulankah? Mengapa kepala gundul Jono tak pernah tumbuh rambut sama sekali? Mungkin memang gundul permanen, anggap saja begitu. Ini adalah juga sebuah petanda (sign) bahwa peristiwa yang mengoyak-oyak rasa kemanusiaan berlangsung tanpa kenal waktu seperti jarum jam yang tak bergerak. Seperti kepala gundul yang tak sempat tumbuh rambut. Waktu telah mati, entah kapan bisa hidup lagi. Meski biji jagung yang disemai Romlah sempat tumbuh, itu pertanda adanya harapan meski sia-sia.

Penafsiran tersebut di atas hanyalah dari satu sisi belaka. Masih terbuka peluang untuk menafsirkan dari sisi yang lain. Masih banyak simbol yang bisa direnungkan untuk ditafsirkan. Seperti baju Romlah tidak pernah ganti, hanya mengenakan daster yang itu-itu saja dan tak berubah kondisinya? Tidak pernah ada adegan Romlah mencuci. Namun Toha selalu menuntut bau badan yang tidak bau tahi. Rasanya janggal. Juga kejanggaan ketika motor Suryanto bisa sampai ke dekat gubuk, namun saat yang lain malah diparkir jauh dari gubuk. Ini juga menjadi pertanyaan. Lantas, mengapa pot gantung tanaman terlihat necis untuk ukuran rumah di tambak dan masih baru? Ini simbol atau jangan-jangan memang kebocoran properti.

Masih ada beberapa hal teknis yang janggal dalam film ini, yang sepintas bisa dikatakan sebagai sebuah kebocoran dalam produksinya. Tetapi, benarkah itu semua adalah keteledoran? Apakah tidak ada maksud-maksud tertentu yang hendak dikatakan oleh Ujang sebagai penggagas cerita film ini?

Juslifar M. Junus adalah alumnus jurusan Ilmu Komunikasi Unair, namun dia juga seorang seniman, akrab dengan dunia simbol sebagaimana nama panggilannya, Ujang. Keakraban dunia simbol dalam disiplin ilmu komunikasi dengan dunia kesenian inilah yang telah menyatu dalam diri Ujang.

Satu hal penting yang menarik dari film ini adalah ketika dibuka dengan adegan seorang perempuan yang sangat terkejut melihat wajah seorang lelaki yang datang ke warungnya. Dia terkejut karena lelaki itulah yang sekian lama telah menyiksanya sebagaimana dikisahkan dalam adegan kilas balik yang panjang.

Semasa Ujang masih hidup, terjadi diskusi  dengan Gatot. Apakah film ini dibiarkan berjalan linier begitu saja, ataukah dibuat adegan kilas balik yang panjang. Ketika pilihan dijatuhkan kepada flash back (kilas balik) maka dilakukanlah syuting tambahan adegan di warung itu. Waktu itu Ujang masih menemani pengambilan gambar meski Gatot bersikeras melarangnya karena kondisi kesehatan Ujang sudah mengkhawatirkan. Sayang Ujang tak sempat tahu bagaimana hasil akhirnya.

Lantas, mengapa tokoh Toha masih hidup? Dia sudah dikira mati tenggelam di laut. Sudah dibunuh dengan racun. Sudah ditinggal sendirian dalam kondisi terikat di sebuah tonggak di areal tambak. Mengapa tiba-tiba dia masih muncul justru ketika Romlah sudah hidup tenang menjaga warung? Mungkin anak yang digendong Romlah adalah anaknya sendiri. Mungkin lelaki yang membantu di warungnya adalah suaminya sendiri. Anggap saja begitu. Tetapi Toha, lelaki yang membeli rokok itu, mengapa masih hidup dan berkeliaran tak jauh dari hidup Romlah? Masih kurangkah penderitaan yang dialami Romlah? Apakah derita Romlah masih akan bersambung lagi?

Bahwasanya Toha masih hidup adalah sebuah simbol, sesungguhnya kejahatan tidak pernah sirna sepanjang masa. Bahwa iblis memang bertugas untuk selalu mengganggu manusia sampai kapan saja. Sampai dunia kiamat. Lebih lama dari selama-lamanya. Begitulah.

Semoga kamu damai di alam kelanggengan ya Ujang, sedulurku. Al Fatikhah. (*)

Sidoarjo & Jakarta, 3 Desember 2020

 

 

In category: Artikel
Related Post
no-img
DESA BUNGURASIH BUKAN DARI MBAH BUNGUR

Oleh Henri Nurcahyo   BUNGURASIH selama ini dikenal karena keberadaan ...

no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...