ArtikelProfil

Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk berbagai peralatan rumah tangga. Mereka juga membuat lukisan di bebatuan goa. Pada waktu itu goa tak ubahnya seperti sebuah galeri senirupa.  Namun yang tidak banyak diketahui, apakah manusia di Zaman Batu itu juga menggunakan batu sebagai bahan untuk melukis?

Pada masa lampau, tulisan (dan lukisan) di atas batu juga sudah banyak dibuat dalam bentuk prasasti. Di berbagai negara juga sering diketemukan batu-batu kuno yang memuat lukisan yang mengagumkan. Bahkan yang menakjubkan, bangsa Peru berhasil mengumpulkan bebatuan dalam sebuah museum khusus yang menampung 10.000 batu misterius yang terukir aneka gambar yang sulit dipercaya. Bebatuan itu dibuat ribuan tahun yang lalu itu sebagai catatan sebuah peradaban manusia purbakala yang sangat maju yang telah musnah.

Benda bernama batu itu sendiri, memang sebuah karunia alam yang luar biasa potensinya. Tanpa dilukispun sesungguhnya bebatuan sudah menyimpan lukisan yang indah. Lihat saja batu-batu mulia beraneka warna dan mahal harganya, sehingga menjadi mata cincin atau bandul kalung. Malah tanpa disentuh sama sekalipun batu juga dapat dihadirkan sebagai karya seni rupa, yang kemudian dinamakan Suiseki.

Melukis dengan bahan batu, sebetulnya bukan barang baru sama sekali. Sudah ada seniman yang mempergunakan batu menjadi elemen lukisan. Dalam tataran sederhana, batu-batu itu disusun menjadi mozaik untuk dijadikan lukisan penghias taman, lobby hotel, koridor gedung dan sebagainya. Ada lagi orang yang mengklaim mempunyai lukisan antik dengan bahan dasar batu permata (Ruby) asli, buatan Vietnam. Konon, lukisan ini berguna untuk mencegah radiasi televisi, komputer dan elektronik lainnya.  Pada tataran yang lebih tinggi, malah menggunakan bahan bebatuan batu permata dari berbagai jenis, seperti jade stone, ruby stone, giok stone dan sebagainya, yang harganya bisa mencapai Rp 500 juta lebih untuk lukisan berukuran 120×180 cm. Hanya saja, lukisan tersebut masih menggunakan bahan pewarna cat yang digabung dengan bahan-bahan bebatuan. Bukan murni batu seluruhnya.

Nah, yang dilakukan seorang Addy Prana bukan melukis di atas batu, melainkan melukis dengan menggunakan batu alam, tanpa tambahan cat dan bahan pewarna lain sedikitpun. Dia murni mengeksplorasi potensi batu alami yang apa adanya sebagai bahan untuk melukis. Dia tidak perlu menggunakan  tambahan cat (justru di sinilah kelebihannya) karena ketersediaan batu-batuan yang sudah ada selama ini memiliki banyak ragam warna. Dia tidak sekedar membuat karya seni dengan memperlakukan bebatuan yang disusun atau sebuah mozaik misalnya, melainkan betul-betul memanfaatkannya sebagai warna lukisan sebagaimana kalau menggunakan cat.

Pertimbangannya sederhana saja. Ada banyak bahan yang dapat digunakan untuk membuat lukisan di atas kanvas. Yang populer tentu menggunakan cat minyak dan akrilik, ada yang menggunakan tinta, krayon, cat poster dan sebagainya. Bahan yang kurang lazim digunakan misalnya dengan tanah,  sebagaimana dilakukan pelukis dari Makassar. Ada yang memanfaatkan obat anti nyamuk bakar seperti yang dikerjakan oleh pelukis yang bermukim di sekitar candi Borobudur. Pelukis yang lain memanfaatkan potongan kain perca, atau juga serat-serat benangnya saja, tali benang, serta yang menggunakan limbah tanaman pohon pisang. Dan tentu banyak lagi kreativitas lainnya.

Nah, muncul gagasan, bagaimana kalau memanfaatkan batu-batuan? Bukankah ketersediaan batu di alam ini memiliki banyak koleksi warna yang sangat beragam? Jika bebatuan itu dipecah-pecah ukuran kecil, kemudian ditata sedemikian rupa di atas kanvas dengan mempertimbangkan warna-warna yang tersedia, tentu dapat menjadi karya lukis yang menarik. Gagasan kreatif itulah yang muncul di kepala Addy Prana, seorang perupa yang sudah banyak membuat karya seni dengan berbagai bahan.

Memang proses pengerjaannya lumayan sulit dan membutuhkan ketekunan luar biasa, karena batu-batu itu berukuran tidak lebih besar dibanding biji jagung.  Kemudian harus ditata satu persatu menggunakan penjepit, lantas dilekatkan di kanvas dengan lem khusus. Yang paling sulit adalah memilih warna batu-batuan yang sesuai dengan warna lukisan yang diinginkan. Apalagi, jenis lukisannya adalah lukisan realis, yang membutuhkan ketepatan warna, lengkap dengan efek sinar dan gradasinya. Maka dipandang dari jarak tertentu, tidak ubahnya seperti lukisan konvensional dengan bahan warna menggunakan cat.

Lantas, disebut apakah lukisan seperti ini? Agak sulit membuat deskripsinya. Apakah disebut Lukisan Batu? Atau lukisan dengan bahan batu? Ataukah lukisan yang menggunakan batu sebagai bahan pengganti cat? Yang jelas lukisan-lukisan ini menggunakan batu-batu kecil berwarna-warni yang ditata di atas kanvas sedemikian rupa sebagai pengganti cat. Dengan kata lain, Addy Prana telah berhasil menyulap bebatuan menjadi pengganti warna dalam lukisan. Inilah yang merupakan nilai lebih dibanding lukisan “konvensional” lainnya. Termasuk juga, dibanding lukisan lain yang juga menggunakan batu sebagai (sebagian) elemen warna.

Persoalannya kemudian, bagaimanakah hasil akhir lukisan tersebut? Sebab lukisan adalah seni visual, jadi yang dipentingkan adalah aspek visualnya. Perkara lukisan tersebut dibuat dari bahan yang paling aneh sekalipun, tetap saja yang dinilai adalah apakah hasil akhirnya mampu berbicara menjadi lukisan yang baik. Seorang perupa tidak bisa bersikeras menjelas-jelaskan bahan yang digunakan untuk melukis, harganya, tingkat kesulitan mendapatkan bahan dan mengerjakannya, semata-mata hanya untuk mendapatkan pengakuan supaya karyanya dianggap karya yang baik (dan mahal). Nilai sebuah karya seni tidak dapat hanya dilihat dari bahan-bahan dan prosesnya.

Demikian pula halnya dengan lukisan yang menggunakan batu-batu kecil sebagai pengganti cat ini. Disamping ketrampilan menyusun batu-batu itu satu persatu ke atas kanvas, maka penguasaan membuat lukisan yang bagus merupakan prasyarat utama. Dalam hal ini, Addy Prana memang selama ini sudah piawai membuat lukisan realis dengan bahan cat akrilik, bahkan lukisan-lukisan surrealisnya juga memilih gaya surrealis-fotografis yang tentunya membutuhkan kemampuan melukis realis. Barangkali, persoalan menata batu-batu kecil itu menjadi relatif lebih mudah kalau saja Addy memilih lukisan bergaya dekoratif. Justru karena dia memilih gaya realis maka tingkat kesulitannya lebih tinggi ketimbang gaya lainnya.

Ketika Addy membuat lukisan seorang penari misalnya, bagaimana menyusun batu-batu kecil itu sedemikian rupa sehingga lipatan-lipatan kainnya menjadi nampak alami. Bagaimana menyusunnya menjadi gradasi warna pada wajah dan bagian-bagian tubuh lainnya. Demikian pula pernik-pernik bagian lain yang membutuhkan detail-detail yang teliti dan rapi. Maka ketelitian, kejelian, kerapian dan kreativitas sangat dibutuhkan dalam membuat lukisan seperti ini.

Mengamati keseluruhan karya-karya Addy Prana ini, maka nampaknya persoalan menyulap batu menjadi (pengganti) warna cat sudah berhasil ditundukkan. Hal-hal yang menyangkut teknis relatif sudah tidak ada masalah lagi. Addy sudah mengakrabi bebatuan sehingga sudah hapal warnanya.

Tinggal sekarang, apakah sosok Ken Dedes yang dilukisnya berhasil memunculkan pesona sebagaimana citra legendaris Paramesywari Singasari itu? Sosok Gadjah Mada adalah lukisannya yang lain. Tangannya menggenggam sekuntum bunga putih sebagai simbol bahwa apapun dapat diberikan kepada negara sebagai darma baktinya, meskipun (hanya) sekuntum bunga. Juga sosok Bung Karno dengan tatapan matanya yang sayu, guratan-guratan wajahnya dimasa senja, berhasil dihadirkan dengan menggunakan batu sebagai bahan pengganti warna lukisan.

Sebagai pelukis (konvensional), karya-karya Addy adalah lukisan surrealisme fotografis, yang membutuhkan kemampuan prima melukis realis. Ketika kemudian dihadapkan dengan media batu-batuan, Addy masih memilih corak realis. Dengan bahan-bahan bebatuan itu dia melukis sosok Gus Dur, Bung Karno, Singa, Gadjah Mada, Kendedes, penari tunggal, penari kelompok (bedaya), atau yang cenderung surrealis adalah hamparan lahan bebatuan dengan beberapa tonggak kayu salip.

Soal bahan, kanvasnya sengaja dipilih dari kain khusus yang biasa digunakan bahan tenda militer, demikian pula lemnya yang sudah diuji coba kekuatannya. Addy tidak mau main-main dengan kualitas bahannya, lantaran dia sudah berpengalaman berurusan dengan buyers luar negeri ketika mengirim boneka-boneka dan kerajinan kayunya. Juga soal bahan baku batu, Addy memilih batu gunung yang keras dan tahan lama, bukan batu dari laut yang rapuh meski warna-warnanya lebih menarik.

Artikel lebih lengkap silakan baca bukunya:

(Henri Nurcahyo)

 

In category: ArtikelProfil
Related Post
no-img
DESA BUNGURASIH BUKAN DARI MBAH BUNGUR

Oleh Henri Nurcahyo   BUNGURASIH selama ini dikenal karena keberadaan ...

no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...