MENDHAK SANGGRING, KEARIFAN LOKAL DESA TLEMANG
Catatan Henri Nurcahyo
MAKNA harfiah dari Mendhak adalah ritual untuk memeringati “ulang tahun kematian” atau disebut Haul. Sedangkan Sanggring adalah nama masakan berkuah (orang Lamongan menyebut sayur) yang berbahan baku ayam dan dimasak dengan cara-cara khusus. Jadi Mendhak Sanggring adalah rangkaian ritual yang secara umum sama dengan Bersih Desa sekaligus sebagai pesta rakyat atas panen hasil bumi Desa Tlemang dengan keunikan berupa Sanggring itu sendiri.
Tradisi ini merupakan bentuk kearifan lokal yang sudah berlangsung ratusan tahun lamanya di desa Tlemang, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Sedangkan yang disebut Bersih Desa itu sendiri malah dilakukan masing-masing dusun di Tlemang sehingga ada tiga kali kegiatan dalam setahun. Namun dalam prakteknya Bersih Desa (tepatnya: Dusun) itu hanya berupa syukuran sehabis panen dimana warga membawa berkat dari rumah masing-masing dikumpulkan di rumah Kepala Dusun (Kasun). Setelah diupacarai dengan sekadar sambutan dan doa oleh Kasun maka masing-masing warga menukarkan berkat itu satu sama lain. Tidak ada ketentuan khusus apa isi berkat. Biasanya berupa nasi dan lauk pauk yang ditempatkan dalam wadah berupa ember plastik.
Jadi ritual Mendhak Sanggring ini bisa dikatakan merupakan puncak dari Bersih Desa. Daya tarik acara Mendhak Sanggring berupa memasak Sayur Sanggring dan makan bersama oleh warga desa serta berdoa di makam Ki Buyut Terik, yang dipercaya sebagai pendiri desa. Proses memasak sanggring itulah yang unik, karena seluruh petugas yang menerima sumbangan ayam, menyembelih, memasak hingga menjadi masakan Sayur Sanggring hanya boleh dilakukan oleh para laki-laki. Sedangkan pimpinan Juru Sanggring harus juga keturunan Juru Sanggring sebelumnya dan melakukan puasa sehari semalam sebelum ritual ini.
Setelah ayam dipotong, dicabuti bulunya, dan direbus air panas, maka daging ayam dipisah-pisahkan menggunakan tangan, kemudian dimasak bersama dengan aneka bumbu di tiga wajan besar yang harus dilakukan di tempat terbuka. Sayur Sanggring dipercaya memiliki khasiat dapat menolak penyakit atau sebagai obat. Sebagaimana asal kata Sanggring yakni ‘sangkaning wong gering’ atau obatnya orang sakit.
Ada aturan adat yang melarang Juru Sanggring mencicipi hasil masakan, karena justru rasa masakan itulah yang nantinya menjadi isyarat masa mendatang. Kalau rasanya sedap, berarti persembahan mereka diterima. Hal yang sebaliknya kalau masakan terasa terlalu asin, terlalu manis atau bahkan tidak enak dirasakan.
Mereka percaya betul soal nilai-nilai sakral dalam acara ini. Bukan hanya harapan untuk hidup sehat dengan terselenggaranya tradisi ini namun juga harapan agar pertanian subur tanpa hama, rejeki lancar, dijauhkan dari balak dan bencana. Itulah sebabnya meski tahun ini adalah masa pandemi, warga desa ngotot harus menyelenggarakan ritual ini. Mereka tidak berani menghapuskannya dengan alasan apapun. Tidak ada toleransi untuk perubahan setiap tata cara urutan dan waktu pelaksanaan. Warga desa Tlemang merasa memiliki kewajiban untuk melaksanakan upacara mendhak setiap tahun tanpa kecuali.
Mau tidak mau maka kepala desa harus menyiasati dengan menyederhanakan acara, misalnya menghilangkan arak-arakan berbusana adat menuju makam. Juga pergelaran wayang krucil malam hari dihilangkan. Panitia juga menyediakan masker gratis untuk pengunjung, sarana cuci tangan dengan sabun, serta memasang pengumuman tertulis untuk mematuhi protokol kesehatan. Bahkan dalang wayang krucil berulangkali menyampaikan pesan ini di sela-sela membawakan lakon.
Berhasil? Tentu saja tidak. Sebab satu-satunya protokol kesehatan yang sulit dijalankan adalah larangan berkerumun. Warga tetap bergerombol saat menggelar selamatan, apalagi ketika berebut Sayur Sanggring. Termasuk juga ketika berbondong-bondong menyesaki halaman makam Ki Buyut Terik. Meskipun secara sepintas kondisi tahun ini jumlah pengunjung lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya yang penuh sesak. Berbagai tulisan “Harap Tidak Berkerumunan” (memang begitu ejaannya) yang ditenpel di beberapa tempat tidak ada pengaruhnya sama sekali. Masih untung sebuah pengumuman “Harap Antri, Tidak Berjubel” ternyata dipatuhi ketika pengunjung memberikan sebungkus bunga tabur dan sedekah.
Keyakinan terhadap sakralitas ini ditandai dengan keikhlasan warga desa memberikan sumbangan berupa uang, ayam (atau telor bagi yang tidak memiliki ayam), bahan masakan, makanan untuk slametan (ambeng) dan juga tenaga. Dengan kata lain acara ini mampu menjadi perekat gotong royong warga desa.
Mereka juga tidak berani mengubah kebiasaan yang sudah dilakukan secara rutin setiap tahun. Bahkan menempatkan posisi panggung wayang krucil harus berada di sebelah lokasi memasak Sanggring. Padahal secara kebetulan halaman rumah Kepala Desa yang sekarang ini kurang ideal untuk membuat panggung seperti itu. Menurut tradisi memang ritual ini harus dilakukan di halaman rumah kepala desa sehingga menjadi masalah tersendiri ketika halamannya sempit.
Pimpinan ritual juga harus dipegang oleh kepala desa, sebagai legitimasi kedudukan dan kekuasaan kepala desa yang merangkap menjadi kepala adat. Meskipun Kades yang menjabat sejak tahun 2016 ini masih berusia muda, Aris Pramono, 36 tahun. Dulu sempat menjadi persoalan tersendiri ketika pernah kepala desa dijabat oleh perempuan. Untungnya ada sesepuh desa yang ikut mendampingi. Mengapa harus kepala desa, karena sejak dulu memang sudah begitu. Mungkin karena dulu menjadi kepala desa adalah jabatan abadi sehingga tidak menjadi masalah.
Tradisi Nyanggring seperti ini memang juga ada di Gresik, biasanya diselenggarakan pada bulan puasa dan dinikmati sebagai hidangan berbuka puasa. Tapi yang ada di Tlemang ini berlangsung selama 4 (empat) hari berturut-turut berpedoman pada penanggalan Jawa yaitu setiap tanggal 24 hingga 27 Jumadil Awal, yang tahun ini bertepatan dengan tanggal 9 – 12 Januari 2021. Disamping itu, juga ada ritual Ndhudug Sumber (membersihkan mata air) dan Bersih Makam serta pergelaran kesenian langka yaitu wayang krucil selama dua hari berturut-turut. Dalam ritual ini memang harus menggelar wayang krucil, bukan wayang kulit, atau pertunjukan kesenian lainnya.
Dulu pernah ada pergelaran Sandur namun diprotes warga hingga tak diselenggarakan lagi. Dengan demikian tradisi ini juga sekaligus merupakan upaya pelestarian wayang krucil yang memang sudah langka. Apalagi sekarang ini sudah tidak ada wayang krucil di Lamongan. Kesenian wayang krucil yang didatangkan kali ini berasal dari Tembelang, Jombang, yang ternyata perangkat wayang krucilnya malah menyewa dari dalang di desa Matokan, Manduro, yang hanya satu-satunya di Jombang. Konon ada lagi di wilayah Ngoro, tidak jelas persisnya.
Memang disayangkan, di desa yang memiliki tradisi tahunan menggelar wayang krucil malah tidak memiliki perangkat wayang krucil sendiri. Kalau soal dalang bisa dijalankan oleh dalang wayang kulit, sebagaimana pergelaran kali ini juga dalang yang biasa pentas wayang kulit. Mungkin ini persoalan frekuensi tanggapan wayang krucil yang sangat jarang sehingga tidak ada dalang khusus wayang krucil. Namun dengar-dengar sebetulnya dulu kala pernah ada seperangkat wayang krucil di desa Tlemang ini, namun entah sekarang kemana.
Rangkaian Acara
Tlemang adalah sebuah desa di perbukitan kapur berhutan jati dengan jarak ke kota kecamatan sejauh 6 kilometer dan 36 kilometer di arah barat daya pusat kota Lamongan. Jumlah total penduduk dari tiga dukuh, yaitu Tlemang, Waduk dan Bakon adalah sebanyak 1.365 jiwa (monografi Desember 2019). Sebuah anugerah tersendiri desa ini memiliki banyak mata air yang melimpah namun sayangnya konisi lahan kapur tidak ideal untuk bersawah. Kebanyakan warga hanya menanam jagung. Karena itu tradisi Mendhak Sanggring ini adalah sekaligus cara warga desa melakukan perawatan (konservasi) mata air secara rutin.
Rangkaian acara Mendhak Sanggring dimulai hari Sabtu (9/1) dimana warga membersihkan dua buah sendhang (mata air) yaitu sendhang wedok dan sendhang lanang. Sebelumnya diawali oleh Kepala Desa (Kades) dan sesepuh desa dengan sebuah ritual dengan cara menaburkan air kelapa muda yang dicampur dengan badheg (air tape) dan beberapa ramuan. Setelah ritual ndhudhuk sendang ini dilakukan selamatan dengan doa yang dipimpin oleh Modin, dengan hidangan yang dibawa masing-masing warga.
Hari kedua, Minggu (10/1) pagi adalah ritual di makam punden desa, yaitu Ki Buyut Terik. Warga setempat membersihkan semak-semak sehingga areal sekitar makam yang tadinya rimbun dan penuh semak belukar dalam waktu singkat berubah menjadi terang benderang. Maklum selama satu tahun tidak seorangpun diperbolehkan memasuki areal pemakaman. Sementara itu di bagian makam dilakukan penggantian kain pembungkus, mengganti atap daun alang-alang, melapisi kain merah putih dengan yang baru.
Menurut sesepuh desa Tlemang, Mujiono (67 tahun) Buyut Terik yang bernama asli Raden Nurlali, konon berasal dari keluarga Raja Mataram yang sekitar tahun 1677 meninggalkan Kerajaan Mataram karena merasa kecewa campur tangan kolonial Belanda. Raden Nurlali lantas menuju ke arah timur, mengabdi dan berguru pada Sunan Giri di Gresik. Kemudian oleh Sunan Giri diberi tugas menyebarkan agama Islam di daerah Lamongan. Atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan menumpas penjahat, Raden Nurlali diangkat menjadi pemimpin masyarakat Desa Tlemang. Untuk meresmikan pengangkatannya, secara formal diadakan upacara wisuda pada bulan Jumadilawal tanggal 27. Pada acara ini dihadiri oleh Sunan Giri dan para tamu sahabat-sahabat Raden Nurlali.
Setelah areal makam bersih, pada sore harinya diselenggarakan pengajian berupa istighosah kaum muslimat. Ini memang acara tambahan yang menurut tradisi memang tidak ada. Baru diadakan sekitar sepuluh tahun yang lalu untuk mengadopsi kepentingan kaum agamawan. Memang semula ada pemuka agama yang menentang tradisi Mendhak Sanggring ini yang dianggapnya syirik dan semacamnya. Karena itu lantas pemuka agama tadi membuat semacam acara tandingan dengan merekrut anak-anak muda mengikuti khataman di masjid. Namun belakangan justru acara khataman itu malah memerkaya keragaman tradisi Mendhak Sanggring. Bahkan pihak panitia Mendhak memberikan sumbangan berupa ayam untuk keperluan konsumsi acara khataman.
Hari ketiga (11/1) pergelaran wayang krucil dimulai sejak pagi di halaman rumah Kepala Desa, kali ini dalang Warsono Hendro Bawono membawakan lakon “Damarwulan.” Sementara itu dua ekor kambing disembelih untuk acara “Selamatan Kambing” dengan menu khusus yang dipersembahkan untuk Ki Buyut Terik dengan cara dikunci dalam kamar. Sementara wayang krucil masih berlangsung, sejumlah warga dipimpin oleh Kepala Desa mengunjungi makam Ki Buyut Terik, memanjatkan doa sebagai pertanda acara mendhak akan dimulai. Usai dari makam, warga lantas menikmati hidangan khusus dengan menu daging kambing di halaman rumah kepala desa.
Pagi hari, Selasa (12/1) adalah puncak acara Mendhak Sanggring. Kali ini digelar lagi pertunjukan wayang krucil dengan lakon yang berbeda (Sriaji Jayabaya) dimana seluruh pendukung dan dalang berbusana adat, tidak sebagaimana pentas sebelumnya yang hanya mengenakan busana sehari-hari. Pergelaran kali ini menjadi pengiring proses nyanggring.
Di tempat dan waktu yang sama, sejak pagi hari masing-masing warga desa menyumbangkan seekor ayam dan sebungkus bumbu jangkep serta menyerahkan sekadar sumbangan untuk pelaksanaan acara ini. Total ayam yang berhasil dikumpulkan pada acara kali ini warga sebanyak 170 ekor. Jumlah ini malah lebih banyak dibanding tahun lalu yang hana 146 ekor. Padahal sekarang masa pandemi.
Menjelang tengah hari warga desa sudah berduyun-duyun mendatangi lokasi, kebanyakan membawa wadah berbagai rupa untuk Sayur Sanggring yang akan dibagikan. Sebanyak 44 piring sayur sanggring sengaja disiapkan panitia sebagai suguhan untuk Ki Buyut Sanggring yang disimpan dalam sebuah kamar tertutup. Namun setelah didoakan makanan itu disuguhkan ke para tamu. Pergelaran wayang krucil yang mendekati puncaknya nyaris tidak ada yang memerhatikan. Semua warga konsentrasi menunggu pembagian Sayur Sanggring.
Setelah sambutan Kepala Desa dan doa yang disampaikan oleh Modin maka Juru Sanggring lantas satu persatu mengisi wadah yang disodorkan warga. Namun dalam prakteknya warga malah berebut, bahkan tak sabar untuk mengambil sendiri dari wajan. Setelah semua Sayur Sanggring habis maka Juru Sanggring lantas menggulingkan wajan sebagai bagian dari tradisi.
Tradisi Mendhak Sanggring ini menjadi sarana kerukunan warga yang sempat terpecah akibat perbedaan pilihan politik dalam Pilkada. Bahkan warga asal desa Tlemang yang bermukim di luar kota juga tak mau ketinggalan nimbrung dalam ritual tahunan ini. Lebih penting dibanding tradisi Idul Fitri. Mereka ikut berbaris mengikuti hingga membentuk barisan yang sangat panjang dalam acara ritual menuju makam Ki Buyut Terik sementara Modin kemudian memimpin pembacaan Surat Yasin. Mereka sambil membawa sebungkus bunga tabur dan menyerahkan sedekah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan memberikan sesaji untuk Ki Buyut Terik.
Sementara warga desa juga membawa makanan dalam wadah (ambeng) untuk didoakan. Ini merupakan kesempatan emas untuk mengirimkan doa kepada pendiri desa Ki Buyut Terik dan juga para leluhur masing-masing.
Pamungkas acara adalah selamatan Tutup Gedhek yang merupakan ungkapan syukur karena upacara telah berjalan lancar tanpa halangan. Sementara di tengah kerumunan ada warga yang melemparkan sejumlah uang logam untuk diperebutkan. Ini namanya udhik, bagian dari ritual ini. Acara berakhir, warga berangsur-angsur meninggalkan lokasi. (*)