Artikel

Jelajah Budaya Tirtayara (3): SPIRIT TOLERANSI DI CANDI JAWI

no-img
Jelajah Budaya Tirtayara (3): SPIRIT TOLERANSI DI CANDI JAWI

Catatan Henri Nurcahyo

CANDI Jawi merupakan tempat beribadah penganut dua agama yang berbeda, atau sinkretisme agama Hindu dan Buddha. Keberadaan bangunan stupa di puncaknya identik dengan Buddha sedangkan bangunan di bawahnya identik dengan bangunan Hindu. Keberadaan relief yang mengitari Candi Jawi masih berupa misteri karena belum selesai dibaca oleh para arkeolog lantaran kondisinya yang kebanyakan sudah aus. Dibangun pada masa akhir kerajaan Singhasari, candi ini mengalami perubahan fungsi pada masa Majapahit.

Dalam acara “Tirtayatra: Jelajah Budaya Lingkar Penanggungan” yang diselenggarakan oleh Komunitas Seni Budaya BrangWetan (09/04/21) pada mulanya candi Jawi dipilih sebagai titik berangkat karena dianggap berada di sisi selatan gunung Penanggungan. Memang kalau dari arah Pandaan ada jalan ke arah barat menuju Prigen dan melewati Candi Jawi yang berada di desa Wates, kecamatan Prigen. Namun tanpa disadari sebetulnya jalanan yang semula mengarah ke barat ini pelan-pelan menikung sehingga tanpa terasa sudah berbelok ke kiri atau arah selatan. Alhasil, sebetulnya candi Jawi bukan menghadap ke selatan melainkan ke timur. Hal ini berarti posisi candi Jawi masih berada di sisi timur gunung Penanggungan.

Keberadaan gunung Penanggungan itu sendiri bisa dibilang istimewa karena memiliki puncak yang dikelilingi empat puncak kecil, yaitu: Puncak Gajahmungkur (1084 m) di bagian timur laut, Kemuncup (1238 m) di sebelah tenggara, Sarahklopo (1235 m) berada di arah barat daya, dan Gunung Bekel (1260 m) di sebelah barat laut. Jika dihitung dengan yang bukit lebih kecil lagi, jumlahnya mencapai 8 (delapan) bukit, yaitu Gunung Wangi (987 m) di sebelah tenggara, Gunung Bende (1015 m) di arah selatan, Gunung Jambe (745 m) di sebelah barat, dan Gunung Gambir (588 m) di sisi barat laut. Posisi gunung atau bukit-bukit ini menggambarkan replika sistem mata angin kosmis.

Di setiap lerengnya tersebar bangunan bersejarah seperti candi dan gua pertapaan. Kondisi fisik gunung Penanggungan ini mirip dengan Gunung Semeru dengan puncaknya bernama Mahameru yang juga dipercaya sebagai gunung suci umat Hindu. Sementara gunung Semeru itu sendiri dalam konsepsi Hindu dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para dewa.  Konsepsi ini sebenarnya telah dikenal semenjak zaman prasejarah masa megalitik yang menganggap gunung sebagai unsur tertinggi tempat bersemayamnya roh nenek moyang.

Gunung Mahameru tercantum dalam kitab kuna Tantu Pangelaran yang ditulis pada abad 15. Menurut legenda, Gunung Mahameru berasal Gunung Meru di India yang dipindah oleh Dewa Wisnu yang menjelma sebagai kura-kura raksasa dengan cara digendong. Untuk menjaga agar Gunung Meru tidak jatuh, Dewa Brahma menjelma sebagai ular panjang dan membelitnya. Dan Gunung Penanggungan, dipercaya sebagai puncak gunung Mahameru yang dipindahkan oleh para dewa. Jadi memang ada hubungan psikologis-mistis, antara Gunung Penanggungan, Semeru di perbatasan Probolinggo-Lumajang, dan Gunung Meru di India.

Salah satu candi yang berada di sekitar Penanggungan adalah Candi Jawi. Candi ini unik karena batu yang dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri dari dua jenis. Dari kaki sampai selasar candi dibangun menggunakan batu berwarna gelap, tubuh candi menggunakan batu putih, sedangkan atap candi menggunakan campuran batu berwarna gelap dan putih.  Candi termasuk utuh karena berulangkali dipugar.  

Ketinggian  candi Jawi sekitar 24,5 meter dengan panjang 14,2 m dan lebar 9,5 m, berbentuk tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah dengan atap yang merupakan paduan antara stupa dan kubus bersusun yang meruncing pada puncaknya. Posisi Candi Jawi yang menghadap ke timur, membelakangi Gunung Penanggungan, menguatkan dugaan sebagian ahli bahwa candi ini bukan tempat pemujaan, karena candi untuk peribadatan umumnya menghadap ke arah gunung, tempat bersemayam kepada Dewa. Tetapi sebagian ahli lain tetap meyakini bahwa Candi Jawi berfungsi sebagai tempat pemujaan. Posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung dianggap sebagai akibat pengaruh ajaran Buddha.

Namun demikian, meski arah hadap candi ke timur belakangan pintu masuknya ditutup dengan alasan keamanan karena langsung berada di tepi jalan raya Prigen. Pintu masuk lantas dipindahkan ke sebelah utara (sebelah kanan candi) melewati sebuah jalanan kecil ke kampung belakang candi.  Juga sebuah prasasti yang menandai pemugaran candi pada zaman Mendikbud Daoed Joesoef tahun 1980 yang diresmikan tahun 1982.

Pada masa Majapahit pintu masuk ke candi ini justru berada di barat dari arah gunung Penanggungan. Hal ini ditandai dengan adanya bangunan besar sebuah gapura kembar yang sekarang ini sudah runtuh, hanya berupa tumpukan batu bata yang masih mengindikasikan bentuk asalnya.  Hal ini menandakan bahwa candi Jawi yang dibangun masa Kertanegara kemudian diteruskan oleh Raden Wijaya pada masa Majapahit. Sebagaimana diketahui Raden Wijaya yang mendirikan kerajaan Majapahit itu merupakan menantu Kertanegara dengan menikahi keempat anaknya.

Kondisi gapura kembar ini sekarang lebih rusak dibanding candi Jawi sendiri karena terbuat dari batu bata dan memang belum pernah dilakukan renovasi. Sementara renovasi candi Jawi sudah dilakukan berkali-kali.

Dibandingkan dengan tiga candi lainnya, posisi Candi Jawi memang tidak persis berada di lereng Penanggungan. Lokasinya agak jauh dari badan gunung, yaitu di tepi Jalan Raya Prigen – Pandaan. Namun dari tempat ini pemandangan gunung Penanggungan terlihat jelas sebagai latar belakang. Hal yang sama juga dapat disaksikan di Taman Candra Wiwatikta, tidak jauh dari candi Jawi, dimana pemandangan gunung Penanggungan menjadi latar belakang yang indah.

Kalau mau cari candi yang persis di sisi selatan Penanggungan sebetulnya bisa dipilih Candi Selokelir yang berada di sisi barat bukit Sarah Klopo di lereng selatan gunung Penanggungan. Tapi lokasi candi tersebut sulit dijangkau dengan kendaraan. Harus berjalan kaki menelusuri bukit yang lumayan terjal.

Dalam kitab Negara Krtagama disebutkan candi Jawi didirikan atas perintah Kertanegara (1268  1292 M), raja terakhir Singhasari, sebagai tempat beribadah umat Syiwa-Budha, yang di kemudian hari juga menjadi tempat penyimpanan abu jenazah Kertanegara. Sementara Candi Belahan (Sumber Tetek), Candi Jedong dan Jalatunda, memiliki kesamaan sebagai situs-situs bekas pemukiman golongan pertapa atau resi yang menarik diri dari urusan duniawi untuk mendalami ilmu agama.

Misteri Candi Jawi atau disebut juga candi Jejawa atau Jejawi ini ada di reliefnya. Dinding luar tubuh candi dihiasi dengan relief yang isinya masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli. Relief itu harus dibaca menggunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam), namun bisa jadi dibaca secara pradaksina (searah jarum jam) karena isi relief sendiri masih belum jelas.

Ada yang berpendapat bahwa relief yang terpahat di tepi barat dinding utara menggambarkan peta areal candi dan wilayah di sekitarnya. Bahwa relief di kaki candi perihal kisah pertapa perempuan. Sementara di sepanjang tangga naik menuju selasar terdapat pahatan yang rumit dan sepasang arca binatang bertelinga panjang. Tapi pendapat lain menyebutkan bahwa relief di candi ini diduga berhubungan erat dengan cerita Sutasoma.  Kitab Sutasoma merupakan sebuah kakawin atau syair Jawa kuno yang digubah oleh Mpu Tantular pada zaman Kerajaan Majapahit di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk. Kitab ini menceritakan perjalanan panjang seorang pangeran dari Negeri Hastinapura bernama Sutasoma untuk menemukan makna hidup sesungguhnya.

Dalam kitab yang ditulis pada abad ke-14 inilah terdapat kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” yang kemudian dijadikan semboyan negara Indonesia. Kakawin Sutasoma berisi banyak pelajaran yang berharga. Di antaranya mengajarkan toleransi beragama, yang di era modern saat ini sudah mulai luntur. Menilik candi Jawi yang merupakan perpaduan Hindu dan Buddha, serasa sekali relevansinya dengan ajaran toleransi dalam kitab Sutasoma tersebut. Dan sampai sekarang umat Hindu dan Buddha juga sama-sama menggunakan candi ini sebagai tempat beribadah. Dalam kondisi sekarang ini di kampung belakang candi terdapat bangunan masjid yang seolah makin melengkapi keberadaan Candi Jawi yang memiliki spirit toleransi.

Juru pelihara Candi Jawi, Sulikin, hanya menjelaskan bahwa cerita di relief tersebut menggambarkan sebuah peradaban masyarakat tempo dulu. Secara sekilas dapat dilihat banyak sekali tanaman yang dilukiskan dalam relief tersebut. Diantaranya tanaman tebu dan kelapa. Apakah keberadaan dua jenis tanaman ini ada hubungannya dengan gula (tebu) dan kelapa yang kemudian menjadi inspirasi bendera merah putih? Bisa jadi.

(Bersambung)

In category: Artikel
Related Post
no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...

no-img
JELAJAH BUDAYA CANDI GUNUNG GANGSIR

PASURUAN: Acara bulanan rutin Dialog Budaya Komunitas Seni Budaya BrangWeta...