Jelajah Budaya Tirtayatra (4): DONGENG KEBO SUWAYUWO DAN PUTRI JAJAWI
Catatan Henri Nurcahyo
KEBERADAAN Candi Jawi ternyata memiliki cerita rakyat tersendiri, khususnya terkait dengan adanya sejumlah mata air di sekitarnya. Mirip dengan cerita rakyat Kediri, yaitu manusia berkepala kerbau bernama Maheso Suro yang dikubur hidup-hidup dalam sumur yang berhasil digalinya. Kalau Mahesa Sura dikhianati oleh Dewi Kilisuci, maka Kebo Suwayuwo, yang juga berkepala kerbau, dikhianati oleh Putri Jajawi.
Juru pelihara Candi Jawi, Sulikin, menyampaikan kisah singkatnya, bahwa dahulu kala ada seorang putri cantik yang bernama Putri Jajawi. Makna kata Jajawi itu sendiri adalah “ja” (luar) sedangkan “Jawi” (Jawa). Gadis dari luar Jawa (Bali) membuat wara-wara (sayembara) bahwa barang siapa yang dapat membuat mata air maka akan dipinang menjadi suaminya. Ternyata yang berhasil memenangkan sayembara tersebut adalah Kebo Suwayuwo, perwujudan dari Nandiswara, yaitu manusia berkepala kerbau. Sang Putri mengingkari janjinya, meskipun mata air yang digali itu sudah mengeluarkan air.
Karena peristiwa inilah maka hingga sekarang penduduk perempuan desa Wates Candi Jawi dilarang menikah dengan laki-laki warga desa Suwayuwo. Jika pantangan itu dilanggar maka kesialan yang bertubi tubi akan menimpa mereka.
Bisa jadi yang disebut “manusia berkepala kerbau” itu hanyalah kiasan dari laki-laki yang berwajah buruk sehingga diumpamakan seperti kerbau.
Suwayuwo adalah nama desa yang sekarang berada di kecamatan Sukorejo, sejauh sekitar 8 kilometer dari posisi Candi Jawi. Desa penghasil kapuk ini juga dikenal memiliki banyak mata air yang juga dimanfaatkan untuk produksi air isi ulang. Demikian pula di desa Wates, dimana candi Jawi berada, juga terdapat beberapa mata air.
Dari sumber yang lain didapatkan cerita yang lebih lengkap, bahwa Putri Jajawi berangkat dari Bali menuju Pasuruan karena diutus ayahnya untuk menemui seseorang yang akan dijodohkan dengannya. Perjalanannya dikawal oleh pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Mahesoyuwo atau Kebo Suwayuwo. Namun di tengah perjalanan yang ditempuh dalam waktu cukup lama itu ternyata menumbuhkan benih-benih cinta kasih Mahesoyuwo kepada Sang Putri.
Hingga akhirnya, sesampainya di Pasuruan, Maheso Suwayuwo mengungkapkan rasa cintanya kepada Sang Putri. Tentu saja Sang Putri menolak karena justru perjalanannya ini hendak menemui calon suaminya. Sang Putri yang merasa tidak nyaman ini berusaha mencari akal bagaimana bisa mengelak dari rayuan Kebo Suwayuwo yang setiap saat selalu berada di dekatnya sebagai pengawal.
Di tengah perjalanan Sang Putri bertemu dengan orang sakti bernama Ki Ageng Pandak. Sang Putri meminta bantuan kepada Ki Ageng Pandak untuk membunuh Kebo Suwayuwo. Lalu Ki Ageng Pandak menyuruh Sang Putri masuk ke dalam rumah Ki Ageng Pandak. Kemudian terjadilah pertempuran antara Ki Ageng Pandak dengan Kebo Suwayuwo yang berlangsung hingga larut malam. Ki Ageng Pandak memutuskan meminta waktu istirahat, Kebo Suwayuwo pun setuju, tetapi itu hanyalah akal-akalan Kebo Suwayuwo saja karena tiba-tiba dia menusuk Ki Ageng Pandak dari belakang dan meninggalkannya. Melihat Ki Ageng Pandak yang sudah sekarat itu, Sang Putri langsung menemuinya. Sebelum Ki Ageng Pandak meninggal dia memberikan wasiat kepada Sang Putri kalau menikah dengan Kebo Suwayuwo harus disertai dengan satu syarat yaitu Kebo Suwayuwo wajib mencari mata air yang bening untuknya.
Untuk berterima kasih atas pertolongan Ki Ageng Pandak, Sang Putri memberi nama tempat meninggalnya Ki Ageng Pandak itu Pandakan atau Pandaan.
Setelah kejadian itu Kebo Suwayuwo meminta jawaban kepada Sang Putri atas perasaannya selama ini. Putri Jajawi pun bersedia menerima lamaran itu dengan satu syarat yaitu mencarikan air yang bening untuk dirinya. Kebo Suwayuwo segera menyanggupi dengan membuat sumur yang dalam. Namun begitu sumur itu selesai, ketika Kebo Suwayuwo hendak keluar dari sumur, dia dikubur hidup-hidup di dalam sumur hingga tewas. Mirip cerita Mahesasura di Kediri.
Akibat kematian itu, Sang Putri bisa kembali tenang dan memberi nama tempat itu dengan sebutan desa Suwayuwo. Di desa ini juga terdapat banyak mata air bersih yang sekarang dimanfaatkan oleh perusahaan air minum.
Lha hubungannya dengan Candi Jawi? Konon di tempat candi Jawi itulah merupakan tempat istirahat Sang Putri sehingga diberi nama Candi Jawi. Begitulah kata sohibul hikayat.
Yang jelas keberadaan candi Jawi erat kaitannya dengan air. Menurut Sulikin, parit besar sedalam dua meter yang mengitari candi Jawi sekarang ini dimaksudkan untuk menampung limpahan air dari dataran yang lebih tinggi sehingga bangunan candi tidak terendam oleh genangan air meskipun lokasi candi itu sendiri sudah berada di dataran tinggi. Disamping itu dengan adanya parit ini sekaligus dapat menahan getaran dari arah luar.
Dengan demikian seolah-olah candi Jawi berada di tengah kolam. Kondisi “bangunan di tengah kolam” ini memang mengingatkan konsepsi Samudramanthana, namun hal ini masih diragukan mengingat candi Jawi lebih mendekati sebagai tiruan (gunung) Meru.
Tidak terlalu jauh ke arah timur, sekitar 700 meter terdapat mata air besar di desa Plintahan, Pandaan, kedua terbesar di Pasuruan setelah mata air Umbulan. Mata air Plintahan dikelola secara profesional sejak zaman Belanda dan dimanfaatkan untuk sumber air PDAM Surabaya. Nama Plintahan ini diduga kuat adalah mata air yang disebut Wuludada dalam Negara Krtagama. Sebagaimana juga di desa Jeruk Purut, tak jauh di tenggara candi Jawi dulu juga terdapat mata air besar yang dialirkan hingga Surabaya.
Diceritakan Sulikin, Candi Jawi pernah roboh dan terpecah menjadi tiga bagian. Kena bom dan petir yang untungnya masih ada gambar aslinya sehingga mudah direnovasi. Persis di depan pintu candi terdapat sebuah hamparan ketinggian dari batu yang konon tempat umat mendengarkan ceramah para Resi di depannya di bagian atas. Mungkin hamparan itu dulu berupa pendopo yang terbuat dari kayu sehingga sudah tidak berbekas lagi. Dari tempat ini biasanya mereka yang melakukan ritual pemujaan berjalan mengitari candi sebanyak 9 (sembilan) kali di jalanan rata berbatu.
Sebagaimana dicatat oleh Mpu Prapanca dalam kitab Negara Krtagama, di dalam bangunan candi terdapat arca Syiwa yang sangat indah serta arca Maha Aksobhya bermahkota tinggi. Namun arca tersebut kini tidak dijumpai lagi. Ruangan di dalam tubuh candi bagian atas itu saat ini dalam keadaan kosong. Sekarang hanya tersisa sebuah yoni tanpa lingga yang juga hilang entah kemana. Hasil penggalian untuk restorasi tahun 1938 – 1941, pernah ditemukan arca-arca seperti Ardhanari, Siwa, Durga, Siwa Mahaguru, Ganesya, Mahakala, dan Nandiswara.
Keberadaan masing-masing arca tersebut tentu memiliki makna tersendiri. Bahwasanya candi Jawi bukan merupakan tempat pendharmaan (pemakaman) yang sebenarnya. Sejak awal candi ini dibangun tidak dimaksudkan untuk itu melainkan untuk pemujaan tantris Raja Kertanegara. Lantaran secara arsitektur dan relief memang serba ganda maka ketika Sang Raja wafat dibuatkanlah arcanya yang bersifat ganda pula, sebagaimana disebut Prapanca, yaitu patung Syiwa indah tak ternilai dengan mahkota tinggi yang di dalamnya terdapat arca Aksobhya.
Sebagaimana ditulis Suwardono dalam buku “Kertanegara & Misteri Candi Jawi” (2017) sesuai dengan kepercayaan Siwa Buddha Tantra, keberadaan candi Jawi lebih dimaksudkan sebagai gambaran sebuah bangunan atau istana Kristal (Sphatikagreha) yang berada di tengah telaga sebagai tempat tinggal dari Sang Jina tertinggi (dalam hal ini diwujudkan sebagai Wairocana) beserta permaisurinya Locana. Candi Jawi semula dibangun oleh Raja Kertanegara sebagai dharma/pemujaan untuk menggambarkan istana kristal namun di kemudian hari juga menjadi tempat pendharmaannya.
(Bersambung)