Artikel

Jelajah Budaya Tirtayatra (7): JEDONG ADALAH KOMPLEKS PERCANDIAN

no-img
Jelajah Budaya Tirtayatra (7): JEDONG ADALAH KOMPLEKS PERCANDIAN

Catatan HENRI NURCAHYO

JADI yang disebut Candi Jedong sebetulnya merupakan kompleks percandian. Ada rumah-rumah resi, ada rumah ibadah, ada situs mata air yang dikeramatkan, ada sendang (kolam air), namun yang tersisa dalam kondisi relatif baik hanyalah dua buah gapura paduraksa. Gapura inilah yang pernah dipugar selama 10 tahun sejak tahun anggaran 1992/1993 hingga selesai tahun 2004 dalam 11 tahap oleh Proyek Pembinaan Peninggalan Bersejarah dan Purbakala Jawa Timur.

Pemugaran ini dilakukan setelah melalui serangkaian studi yang dilakukan oleh para ahli, mulai dari Verbeek (1891), Knebel (1907), Brandes (1913), Bosch (1918), Naersen (1938), Damais (1951), Hasan Dja’far (1978), dan Slamet Mulyana (1979). 

Nah sewaktu rombongan Komunitas Seni Budaya BrangWetan sampai di candi Jedong, sudah saatnya makan siang. Jadi kami langsung menuju sebuah warung yang berada di atas bagian atas kompleks candi. Dari warung inilah bisa dipandang jelas keberadaan gapura Jedong. Beberapa hari sebelumnya kami memang sudah survey, mendatangi warung ini dan menanyakan menunya. Ada rujak cingur, pecel dan tahu thek. Sebetulnya kami ditawari nasi jagung namun kami tak berani mengiyakan, kuatir teman-teman tidak suka. Ya sudahm makan siang dengan menu sebagaimana biasa saja.

Di pintu masuk menuju kawasan percandian, ada papan informasi dengan keterangan lengkap perihal riwayat pemugaran candi dan berbagai prasasti yang terkait dengan candi Jedong. Di balik papan ini tertempel keterangan yang sama dalam bahasa Inggris. Untungnya saya sudah pernah memotret tempelan informasi itu jauh-jauh hari, sebelum menjadi usang dan sulit dibaca seperti sekarang ini. Salinan dari informasi di papan itulah yang saya sajikan dalam tulisan kali ini, setelah diramu dengan literatur lainnya.

Nah informasinya, sewaktu dilakukan ekskavasi (penggalian) ditemukan di sebelah kanan dan kiri bangunan gapura terdapat stuktur bata yang merupakan pagar penghubung. Hasil ekskavasi kemudian menemukan lingga, arca, dwarapala, jaladwara (pancuran air) terbuat dari batu andesit, dan sebuah genta perunggu. Hasil penggalian yang dilalukan memberikan kepastian bahwa kedua bangunan gapura tersebut memiliki struktur talut (pagar) yang terbuat dari bata. 

Dari studi dan ekskavasi itulah kemudian dilakukan identifikasi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Mojokerto, bahwa dua buah gapura dari batu andesit itu berdiri berporos (arah pintu) barat timur masing-masing letaknya berjarak 80 meter. Kedua gapura terletak di sisi barat sebuah teras dengan bekas pagar tembok keliling. Keduanya dihubungkan dengan talut (pagar) dari bahan batu bata. Masing-masing bangunan berbentuk gapura paduraksa, yakni gapura yang bagian atasnya terdapat atap. Masyarakat setempat juga memberi nama sebagai Candi Lanang (laki) untuk Gapura Jedong I dan Candi Wadon (bini) untuk Gapura Jedong II. Gaya arsitek kedua gapura ini memiliki kesamaan.

Gapura Jedong I di sebelah selatan berukuran panjang 12,51 meter, lebar 5,19 meter dan tinggi 9,75 meter. Pintu candi menghadap ke timur dan barat. Bangunan terdiri dari kaki, tubuh dan atap. Bagian kaki dan tubuh polos. Tiap sudut dihiasi relief motif gunung.  Namun pada setiap sisi tubuh bagian atas memiliki sayap dan pahatan berbentuk kepala kala. Bagian dalam atapnya berongga. Atap bangunan mengalami kerusakan sehingga batu penutup rongga atap tidak diketemukan dan stuktur vertikalnya tinggal tiga tingkat. Pada bagian ambang atas pintu sisi barat terdapat candrasengkala yang berbunyi brahmana nora kaya bumi yang menunjukkan candi ini dibangun tahun 1307 Saka atau 1385 Masehi.

Sedangkan pada Candi Jedong II (Gapura II) di sebelah utara lebih kecil dari Gapura I. Gapura II berukuran panjang 6,86 meter, lebar 3,40 meter dan tinggi 7,19 meter. Kaki gapura dihias tanpa relief. Pada bagian tengah tubuh gapura berhias sabuk ornamen kala distiril dan flora. Bagian atas tubuh gapura terdapat pahatan berbentuk kepala kala. Atap gapura bertingkat berbentuk piramida. Tiap tingkat dibatasi dengan deretan menara sebanyak 16 (enam belas) buah. Kondisi atap mengalami kerusakan sehingga struktur vertikalnya tinggal dua tingkat. Batuan penutup rongga atap berhias ornamen surya. 

Perbedaan dengan Gapura I terletak pada hiasan kala. Pada Gapura II, hiasan kala hanya terdapat atas pintu timur dan barat. Sedang di sisi utara dan selatan polos. Gapura II juga tidak ditemukan adanya angka tahun pada ambang pintu. Tetapi ditemukan batu bekas bangunan dengan angka tahun 1378 Saka atau 1456 Masehi.

Fungsi kedua gapura diperkirakan sebagai pintu masuk ke Desa Perdikan (Sima) yang merupakan daerah yang dibebaskan dari kewajiban pajak. Sengkalan (simbol) angka tahun pada ambang pintu Gapura Jedong I diperkirakan sebagai peresmian gapura, sebagai pintu masuk ke desa Perdikan itu.  

Kondisi sekarang, manakala memasuki pintu gapura dari arah timur, maka akan menuruni tangga, menyusuri jalan yang di kanan kirinya lahan kosong, hanya ada beberapa pepohonan. Jalanan ini menyilang dengan jalan lainnya sehingga membagi lahan kosong itu terkotak-kotak seperti layaknya sebuah pemukiman. Menyusuri jalan-jalan di areal ini dapat membayangkan sebuah kompleks hunian para resi pada zaman dulu.

Desa Perdikan

Keberadaan wilayah ini, ternyata sudah disebut-sebut sejak zaman Kerajaan Mataram Kuna yang berpusat di Jawa Tengah sampai periode Kerajaan Majapahit yang berpusat di Mojokerto. Hal itu berdasarkan sejumlah prasasti tiga zaman yang ditemukan di sejumlah tempat. Penemuan 12 prasasti di situs Jedong mengungkapkan keberadaan Desa Wotanmas Jedong sudah ada sejak zaman Mataram kuno.

Penemuan Prasati Tulangan (Jedong I) berbahan perunggu, berhuruf dan bahasa Jawa Kuno (Brandes 1913, Naersen 1938) menyebutkan bahwa situs Jedong telah ada sejak tahun 832 Saka (910 Masehi). Waktu itu, Jedong telah menjadi desa Perdikan Tulangan. Maka, nama Tulangan merupakan istilah awal dari Jedong. Masa ini bersamaan dengan pemerintahan Raja Balitung (898-913 M) yang berkuasa di Mataram kuno, di Jawa Tengah.

Prasasti Jedong II (Kambang Sri) dengan hurup dan bahasa Jawa Kuno tahun 848 S atau 929 M. Isinya memuat Raja Rakai Layang Dyah Tulodong yang memerintah Mataram Kuno (920-928 M). Dengan prasasti ini memberi petunjuk, bahwa Jedong pada masa ini bernama Kambang Sri.

Prasasti Jedong III (Kambang Sri II) berbahan dari batu, berhuruf dan berbahasa Jawa Kuna tahun 850 S atau 928 M (Verbeek 1891). Masa itu bersamaan dengan Empu Sindok, raja Mataram Kuna yang memindahkan pusat kekuasaan ke Jawa Timur.

Satu hal yang dapat ditarik menjadi benang merah adalah, bahwa Raja Tulodong memerintah Mataram Kuna di Jawa Tengah, sedangkan Mpu Sindok memerintah kerajaan Mataram Kuna di Jawa Timur, dimana saat itu situs Jedong masih disebut Kambang Sri.   Data lain menyebutkan bahwa mulai masa Mataram Kuna situs Jedong telah menjadi desa perdikan dengan nama Tulangan, kemudian di masa berikutnya menjadi nama Kambang Sri. Ketiga prasasti di atas merupakan prasasti panjang, sedangkan prasasti lainnya, mulai Jedong III-a hingga XII merupakan prasasti pendek yang hanya memuat 3-4 huruf saja yang lazim disebut prasasti angka tahun.

Prasasti yang dimaksud adalah, Prasasti Jedong III-a bahan dari batu, huruf/bahasa Jawa kuna, berangka tahun 962 Saka (1040 M) bersamaan dengan masa pemerintahan Raja Airlangga dan Mataram kuna di Jawa Timur. Prasasti ini ditemukan di sekitar Candi Jedong yang merupakan wilayah kekuasaan Airlangga, diperkuat dengan ditemukannya Prasasti Cane, TRP I dan II. Raja Airlangga memerintah tahun 1021 – 1042 M.

Prasasti Jedong IV berbahan batu, huruf/bahasa Jawa kuna, berangka tahun 1041 Saka (1119 Masehi). Masa ini bersamaan dengan masa pemerintahan Raja Bameswara di Panjalu. Prasasti ini sekarang berada di Balai Penyelamatan Arca Trowulan Mojokerto dengan nomor inventaris 547.    

Prasasti Jedong V dan V-a berbahan batu, huruf/bahasa Jawa kuna, berangka tahun 1161 Saka atau 1239 Masehi (Verbeeek, 1888), bersamaan dengan masa pemerintahan Anusapati dari Singasari yang sampai ke daerah ini (Hasan Dja’far 1978). Jedong V-a berangka tahun 1169 Saka (1247 Masehi) yang juga masih dalam masa pemerintahan Anusapati.

Prasasti Jedong VI bahan batu, huruf/bahasa Jawa kuna, berangka tahun 1198 Saka atau 1276 Masehi (Verbeek, 1891), bersamaan dengan masa pemerintahan Raja Kertanegara (1268 – 1291 Masehi), dari kerajaan Singhasari (Hasan Dja’far, 1978).

Prasasti Jedong VII dan VIII berbahan batu, berhuruf/bahasa Jawa kuno, berangka tahun 1237 Saka atau 1315 Masehi (Bosch, 1918) dan tahun 1248 Saka atau 1326 Masehi (Knebel, 1907) bersamaan dengan masa pemerintahan Jayanegara dari Majapahit.

Prasasti Situs Jedong berbahan batu putih, huruf/bahasa Jawa kuno,  berangka tahun 1270 Saka atau 1348 Masehi (OV, 1927), merupakan prasasti angka tahun yang dipahatkan pada lapik arca (pedestal). Masa ini bersamaan dengan pemerintahan Bhre Kahuripan (Tribuana Tunggadewi) tahun 1328 – 1350 Masehi (Hasan Dja’far, 1978). Prasasti ini disimpan di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jatim di Trowulan, Mojokerto.

Prasasti Jedong IX dan X bahan dari batu, huruf/bahasa Jawa kuna, keduanya memuat angka tahun 1298 Saka atau 1376 Masehi (Krom, 1911) dan tahun 1307 Saka atau 1385 Masehi (TBG XLVII, 1954) bersamaan dengan masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari Majapahit yang memerintah tahun 1350 – 1389 M (Hasan Dja’far, 1978). Prasasti ini ditemukan di dekat gapura Jedong yang pada masa keemasan Majapahit merupakan daerah perdikan. 

Prasasti Jedong XI dan XII bahan dari batu memuat angka tahun 1350 Saka atau 1428 Masehi (Krom, 1915), dan tahun 1378 Saka atau 1456 Masehi (Verbeek, 1891), yang bersamaan dengan masa pemerintahan Bhre Hyang Purwawisesa (Girinsawardhana, 1456 – 1466 M), (Hasan Dja’far, 1978).

Situs ini juga disebut-sebut dalam Kitab Negarakertagama, sebuah karya ‘jurnalistik’ pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit. Dalam pupuh 76, disebut beberapa nama desa kuna, seperti Kapulungan dan Wwatan. Jika dikaitkan dengan perkembangan sekarang, Kapulungan diperkirakan adalah nama desa yang kini berada di wilayah Kecamatan Gempol, Pasuruan, seperti disebut pula dalam Prasasti Kudadu (Brandes 1906). Sedang Wwatan adalah Desa Wotanmas Jedong, tempat Candi Jedong sekarang.

Sebuah cerita rakyat menyebutkan bahwa dulu yang membangun candi pasetran Jedong adalah Sungging bersaudara, dimana yang sakti adalah kakaknya sedangkan adiknya tidak begitu sakti iri pada kakaknya. Kemudian kakaknya dibuang dengan layang-layang dan adiknya berujar kalau tidak sampai di negri Cina layang-layang itu tidak akan turun.

(Bersambung)

In category: Artikel
Related Post
no-img
DESA BUNGURASIH BUKAN DARI MBAH BUNGUR

Oleh Henri Nurcahyo   BUNGURASIH selama ini dikenal karena keberadaan ...

no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...