Jelajah Budaya Tirtayatra (9): JALATUNDA, SIAPA PUNYA?
Catatan HENRI NURCAHYO
Jalatunda bukan sekadar candi biasa, melainkan juga pusat mata air yang tak pernah surut sepanjang masa. Bukan sekadar air bersih yang bermineral tinggi, tetapi air amerta yang bertuah. Jalatunda berada dalam naungan Gunung Penanggungan yang suci, swarloka (swargaloka), tempat bersemayam para dewa. Puluhan peninggalan purbakala berserak di lereng gunung ini, dimana para pertapa bersamadhi dan melakukan pemujaan pada masa lampau. Lingkungan hutan lindung yang melingkupinya di ketinggian, menghadirkan hawa sejuk buat rekreasi. Jalatunda adalah juga obyek wisata ritual, yang selalu penuh pelaku setiap hari keramat. Sesungguhnya, Jalatunda masih menyimpan misteri yang belum terkuak hingga saat ini.
Akhirnya, sampailah rombongan Komunitas Seni Budaya BrangWetan sampai di candi terakhir, yaitu Jalatunda di wilayah Desa Seloliman, Kecamatan Trawas. Hari sudah agak sore. Beberapa teman yang semula berniat kungkum di kolam sebagaimana tujuan utama kebanyakan wisatawan, terpaksa membatalkan niatnya menyaksikan pengunjung yang berjubel. Padahal ini hari Jum’at, entah seperti apa suasaa hari Sabtu dan Minggu. Padahal lagi, ini adalah masih dalam masa pandemi. Entahlah, apakah orang-orang sudah lupa dengan virus Corona? Ataukah meyakini bahwa air suci Jalatunda mampu mengalahkan segala penyakit?
Jalatunda (Jolotundo) adalah nama sebuah Candi Patirtan yang terletak di kaki sebelah barat Gunung Penanggungan, tepatnya di lereng bukit Bekel. Lokasinya berada di dusun Biting (bukan Balekambang sebagaimana ditulis dalam banyak publikasi, hn), desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Kawasan Jalatunda ini berada dibawah pengelolaan tiga institusi, yaitu Perhutani, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) –sekarang berganti nama menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) – dan Dinas Pariwisata Kabupaten Mojokerto. Masing-masing institusi tentu memiliki kepentingannya sendiri. Sejak tahun 1986 kawasan seluas sekitar 1 (satu) hektar ini ditetapkan sebagai cagar budaya dan hutan lindung.
Perhutani, tentu berurusan dengan lahan dimana candi Jalatunda itu berada, karena lokasinya berada di hutan hujan tropis yang merupakan hutan lindung dalam penguasaan Perhutani. BPCB lebih menitikberatkan pada pelestarian candi itu sendiri karena Jalatunda adalah peninggalan purbakala atau cagar budaya yang memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Sedangkan Dinas Pariwisata, adalah pihak yang memanfaatkan keberadaan Jalatunda sebagai objek wisata yang diharapkan dapat mendatangkan pemasukan bagi pemerintah Kabupaten Mojokerto. Keberadaan tiga institusi yang sekaligus memiliki kewenangan terhadap Jalatunda ini tentu diharapkan berdampak positif karena dapat bekerjasama dengan baik dan saling mendukung.
Sedangkan bagi umat Hindu sendiri Jalatunda merupakan tempat suci masih berfungsi sebagai tempat peribadatan dan upacara keagamaan. Bahkan bagi umat Hindu yang biasa mengambil air dari patirtan ini untuk keperluan sehari-hari, mendahului dengan ritual tertentu dan dengan busana khusus, bukan asal mengambil air begitu saja seperti pengunjung lainnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, sesungguhnya masyarakat dusun Biting (desa Seloliman) juga punya hak tersendiri terhadap Jalatunda ini. Jauh sebelum pemerintah secara formal mengurusi candi ini, masyarakat setempat mempunyai kepedulian dengan caranya sendiri. Mereka merintis jalan setapak menuju Jalatunda, menggelar acara tumpengan setiap pergantian tahun Jawa (Syura), membersihkan kotoran yang berserakan di sekitar candi, dan sebagainya. Setidaknya masyarakat percaya, bahwa harus ada sesuatu yang dilakukan terhadap Jalatunda yang dipercaya sebagai punden.
Sementara itu masyarakat luar (bukan penduduk lokal) kebanyakan lebih mengenal Jalatunda sebagai objek wisata sejarah dan sekaligus wanawisata. Dari aspek sejarah dapat dipetik pelajaran mengenai cerita terkait candi itu sendiri, bagaimana asal mulanya, apa makna simbol-simbol yang tertera di dindingnya, juga mencoba mencari tahu kira-kira seperti apakah gambaran asli batu-batuan candi yang masih berserakan di halaman atau disimpan dalam ruangan tersendiri. Bahkan Jalatunda ternyata bukan satu-satunya candi yang berada di lereng Penanggungan itu. Dari sisi sejarah, orang juga cenderung bertanya mengenai sosok Narotama yang petilasannya terletak tidak jauh dari candi Jalatunda itu sendiri. Siapakah Narotama? Mengapa sampai ada petilasannya di situ?
Serangkaian pertanyaan itu tentu menarik ditelusuri bagi mereka yang menyukai sejarah. Namun tidaklah salah kalau banyak yang memandang Jalatunda hanya dari aspek wanawisata alias wisata yang berbasis hutan. Kebanyakan yang beranggapan seperti ini adalah kalangan remaja atau wisatawan keluarga. Kawasan sekitar Jalatunda memang berupa hutan lindung yang memiliki keragaman hayati yang sangat melimpah. Berbagai jenis tanaman langka dan besar serta tua banyak terdapat di sini. Meskipun seiring dengan perjalanan waktu, nampaknya kelestarian hutan lindung ini layak dicermati kelestariannya. Yang jelas, lantaran berada di dataran ketinggian sekitar 500 meter dpl (di atas permukaan laut) dengan naungan hutan lindung, menjadikan kawasan Jalatunda sejuk dan menyenangkan sebagai obyek rekreasi. Karena itu di sekitar situs Jalatunda terdapat areal terbuka sebagai camping ground, atau tempat berkemah. Ada sejumlah bangunan gazebo untuk istirahat, jalan setapak dan tempat duduk beton untuk bersantai.
Kawasan sekitar Gunung Penanggungan, dimana Jalatunda berada, memang sudah sejak zaman dulu dikenal memiliki panorama yang indah sehingga difavoritkan menjadi tempat wisata. Seperti dikisahkan dalam Kakawin Negarakertagama pupuh 58 ayat 1, tentang perjalanan Raja Hayamwuruk (1350-1389 M) dari Majapahit ke Cunggrang karena terpesona keindahan Pawitra (nama kuna Gunung Penanggungan). Dan Cunggrang adalah asrama para pertapa yang terletak di tepi jurang kaki Gunung Penanggungan.
Posisi Cunggrang itu dalam peta sekarang ini ada terletak di dusun Suci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, tidak jauh dari Candi Belahan (desa Wonosunyo), atau di arah selatan Watukosek. Sebagai ilustrasi saja, dalam sejarah Kabupaten Pasuruan, Cunggrang ternyata punya makna penting, karena di situ ada Prasasti Cunggrang dari Mpu Sindok. Prasasti Cunggrang bertahun 929 M berisi tentang penetapan desa Cunggrang sebagai daerah bebas pajak atau sima swatantra, dan penghasilan desa tersebut digunakan untuk pemeliharaan bangunan suci Sanghyang Dharmasasra ing Pawitra dan Sanghyang Prasada Silunglung yang merupakan bangunan suci tempat pemujaan arwah Rakryan Bawang Dyah Srawana, ayah dari Rakryan Binihajiparameswari alias Dyah Kebi (permaisuri Mpu Sindok).
Bagi yang gemar melakukan hiking dan pendakian gunung maka Jalatunda dapat menjadi titik awal keberangkatan menuju puncak Penanggungan sambil mengamati puluhan benda-benda purbakala sepanjang perjalanan sampai dengan menjelang puncak gunung. Mulai dari candi Bayi, candi Putri, candi Pura, candi Sinta, candi Gentong, candi Lurah, dan seterusnya sampai dengan Candi Syiwa dan candi yang tertinggi di kawasan gunung Penanggungan ini. Pendakian seperti inilah yang membedakan dengan pendakian gunung yang lainnya. Termasuk, ketika mendaki Penanggungan dari arah selatan, desa Tamiajeng, sebagaimana yang justru populer sebagai jalur pendakian. Lewat jalur selatan ini memang relatif lebih landai, meski berarti lebih jauh jarak tempuhnya. Tetapi kalau mendaki dari arah barat melalui Jalatunda, rutenya memang lebih sulit, terjal, namun lebih dekat, dan sambil mendaki dapat sekaligus belajar mengenal sejarah peninggalan purbakala.
Jalantunda bukan satu-satunya candi yang berada di lereng Penanggungan ini. Tak kurang 81 situs monumen punden berundak telah ditemukan. Bahkan bisa mencapai ratusan jumlahnya. Semuanya berasal dari sekitar abad 10-16 M. Dari angka tahun ini dapat dipahami bahwa pembangunan candi-candi di lereng Penanggungan ini dilakukan dalam jangka waktu yang sangat lama, yaitu 6 (enam) abad, sampai berakhirnya masa kejayaan Majapahit.
Sementara itu saja dulu yaa, ini hanya berupa pengantar untuk sebuah tulisan panjang tentang Jalatunda.
(Bersambung)