Jelajah Budaya Tirtayatra (11): BENARKAH JALATUNDA DIBANGUN UDAYANA?
Catatan Henri Nurcahyo
SEJAK kapan Jalatunda dibangun? Prasasti yang berkenaan dengan pendirian candi ini masih belum diketemukan sehingga sejarah pembangunan bangunan suci ini belum dapat diungkap dengan gamblang. Tetapi pada dinding candi sebelah selatan (arah kanan kalau menghadap ke candi, hn) terbaca jelas prasasti pendek dengan huruf-huruf besar yang terbaca angka tahun 899 Caka (977 M). Petunjuk angka tahun itulah yang kemudian diinterpretasikan sebagai tahun pendirian Jalatunda.
Dalam catatan sejarah, pada tahun 977 M itu raja yang berkuasa di Jawa Timur adalah Makutawangsawardhana, cucu Raja (Pu) Sindok. Pu Sindok (Sri Isanawikrama Dharmmotunggadewa) sendiri menjadi raja tahun 929 M hingga wafat tahun 948 M. Dalam kurun waktu tahun 948 – 1003 di Jawa Timur berkuasa dua orang raja, anak Raja Sindok, salah satunya bernama Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan Sri Lokapala. Hasil perkawinan mereka menurunkan anak bernama Sri Makutawangsawarddhana yang kemudian menggantikan ibunya menjadi Raja. Pada masa inilah Jalatunda dibangun (977 M), dan enam tahun kemudian (983 M) Dharmawangsa Teguh menjadi Raja (983 – 1006 M) menggantikan Makutawangsawarddhana.[i]
Dalam Prasasti Pucangan yang dikeluarkan oleh Airlangga disebutkan bahwa Makutawangsawardhana dilahirkan untuk menjadi permata dunia, dan karena jiwanya selalu tertuju kepada kesejahteraan semua makhluk, maka ia telah menjadikan dunia ini aman dan makmur, dan bagaikan Wisnu yang berkilauan tiada taranya dan ia menghancurkan gajah-gajah musuhnya. Ia beranak perempuan yang amat cantik yang merupakan kebahagiaan Pulau Jawa bernama Gunapriyadharmmapatni yang berjuluk Mahendradatta dan Sri Darmmawangsa Teguh Anantawikramottuggadewa.Prasasti Gempeng
Lantas, meski berada dalam kurun waktu pemerintahan Raja Makutawangsawardhana, ternyata yang membangun Jalatunda justru orang Bali yang bernama Udayana ketika masih berusia 14 tahun, dan belum menjadi raja di Bali. Tentu saja ini berupa dugaan.
Indikasinya, di dinding kolam candi Jalatunda ini terdapat prasasti pendek bertuliskan; “Udayana”. Waktu itu Udayana sedang dalam masa pelarian karena Bali sedang dilanda prahara politik. Dia sedang menyusun kekuatan spiritual untuk dapat kembali ke kerajaannya, dan mencari tempat bersamadi (menyepi) agar dapat menyatu dengan kekuatan adikodrati. Dengan membangun candi patirtan dimaksudkan sebagai tempat moksa/pengasingan diri sekaligus sebagai monumen pernyataan diri Udayana ketika hidup dalam pengasingan. Pada waktu itu hatinya sangat sedih karena harus pergi dari kerajaannya, sehingga dibuatlah prasasti bertuliskan; Gempeng, yang bermakna rasa kesedihan yang amat dalam. Prasasti bertuliskan mencolok ini terlihat jelas di dinding atas sebelah utara.
Namun makna kata Gempeng ini selain “sedih” ditafsirkan ahli lain sebagai lebur, dikubur, wafat, atau hancur. Hal ini dikaitkan dengan pembangunan petirtaan ini yang dibuat dengan cara memotong bagian lereng gunung, sehingga bangunan ini seakan-akan melebur menjadi satu kesatuan dengan Gunung Penanggungan.
Sedangkan menurut sesepuh Desa Seloliman, Sujari, masyarakat setempat mengartikan kata “Gempeng” sebagai sesuatu yang indah, apik, sudah pas, sudah sesuai, rata, rancak atau rapi. “Sampun gempeng,” kata Sujari, artinya sudah terlihat bagus atau indah.
Namun demikian, ternyata prasasti bertuliskan “Udayana” di Jalatunda bukanlah Udayana yang menjadi raja di Bali. Menurut Aris Munandar, sebagaimana dikutip Ninie Susanti, kata Udayana di Jalatunda jangan dihubung-hubungkan dengan tokoh raja Bali Dharmmodayana Warmadewa.Udayana
Hal ini disebabkan kata tersebut hanyalah sebagai petunjuk penggambaran relief cerita Kathasaritsagara yang mengisahkan tentang terpisahnya Dewi Mrgayawati dengan suaminya, Raja Sahasranika, dari kerajaan Vatsa. Karena terkena kutukan bidadari Dewi Mrgayawati yang sedang hamil dibawa terbang burung garuda dan diletakkan di suatu pertapaan gunung Udayaparwa. Di pertapaan itu kemudian lahir putranya yang diberi nama Udayana. Jadi, kata-kata yang tertera di bawah panil relief-relief seperti kata Udayana dan Mrgayawati mungkin berfungsi sebagai petunjuk bagi pemahat masa lalu untuk memahatkan adegan tokoh yang dimaksudkan, seperti halnya yang terjadi di panil-panil di candi Borobudur yang bertuliskan wirupa dan swarga.[ii]
Hal senada disampaikan Dwi Cahyono, bahwa memang ada kesamaan nama antara Udayana yang menjadi raja di Bali dengan tokoh bernama Udayana dalam cerita Kathasaritsagara. Pemilihan cerita yang dijadikan bahan relief ini nampaknya memang disengaja agar sama dengan nama Udayana yang menjadi membangun Jalatunda.
(Hal ini dapat disimpulkan, berarti ada dua nama Udayana terkait dengan Jalatunda. Yang pertama adalah nama Udayana dari Bali yang kemudian menjadi raja di sana, kedua adalah nama Udayana yang terdapat dalam cerita Kathasaritsagara).
Dalam upaya memantapkan posisinya, Udayana menikah dengan keturunan Pu Sindok, yaitu anak Makutawangsawardhana, yang bernama Mahendradata atau Gunapriya Dharmapatni. Mereka secara bersama-sama kemudian memerintah di Bali (989 – 1011 M). Udayana atau Dharmodayana – Mahendradata dikaruniai tiga anak, yaitu Sri Aji Airlangga (lahir tahun 990 M), Sri Dharmawangsa Wardana Marakata Pangkaja Stana Utunggadewa dan si bungsu Sri Aji Anak Wungsu. Lingkaran sejarah akhirnya kembali bertemu, karena kemudian Airlangga justru menikah dengan putri Raja Dharmawangsa Teguh, sepupunya sendiri atau cucu dari Makutawangsawardhana pada tahun 1006 M. Saat itulah terjadi pralaya, sehingga Dharmawangsa Teguh terbunuh, dan Airlangga melarikan diri ditemani Narottama. Pada waktu itu Airlangga masih berumur 16 tahun, belum punya pengalaman dalam peperangan dan belum mahir menggunakan senjata. Tetapi karena dia penjelmaan Wisnu maka tidak dapat dibinasakan oleh mahapralaya.Myrgawati
Airlangga adalah Raja Kahuripan yang pertama, didirikan tahun 1019 M sebagai kelanjutan kerajaan Medang yang runtuh tahun 1006 M. Kawasan gunung Penanggungan dan sekitarnya merupakan wilayah kerajaan Kahuripan ketika awal didirikan. Raja Airlangga sempat mengungsi ke Pawitra (nama kuno Gunung Penanggungan) ketika kerajaannya diserang pasukan pemberontak pimpinan Wurawari tahun 1006 M. Dia yakin musuhnya takkan berani menggempur pasukannya di Pawitra yang suci. Pada tahun 1042 M Raja Airlangga mengundurkan diri, menjadi pertapa dengan nama Resi Gentayu atau (ada yang menyebut) Aji Paduka mPungku sang pinaka Catraning bhuana, sampai wafat tahun 1049 M. Konon salah satu tempat pertapaan Airlangga adalah Candi Patirtan Jalatunda.
Tidak diketahui bagaimana nasib Jalatunda pasca Airlangga atau dinasti Isyana. Menurut Agus Aris Munandar, agaknya jika keluarga Isyana mempunyai petirthaan untuk wangsanya, yaitu Jalatunda, maka keluarga raja Majapahit juga mempunyai petirthaan khusus untuk Rajasawangsa, yaitu Belahan. Wangsa Isyana akhirnya dapat dikalahkan oleh wangsa baru yang dikembangkan oleh Ken Angrok (Rajasawangsa), setelah dikalahkannya Krtajaya raja Kadiri terakhir oleh Ken Angrok dalam pertempuran di Desa Ganter tahun 1222. Anak keturunan Ken Angrok yang memerintah di zaman Singhasari-Majapahit, tentunya akan membuat petirthaan tandingan di lereng Pawitra yang keramat tersebut. Jika Jalatunda milik Isanawangsa, maka Belahan milik Rajasawangsa. Lokasi Belahan di lereng timur Pawitra, menandakan arah terbaik, sebab di arah timur tempat bersemayamnya Indra, dewa yang menjadi rajanya para dewa. Indra adalah simbol penguasa.[iii]
Belahan dikenal masyarakat juga dengan nama Candi Sumber Tetek lantaran terdapat dua buah arca perempuan yang mengeluarkan air dari payudaranya. Candi atau patirtan ini berada di desa Wonosunyo, Kec. Gempol, di lereng gunung Penanggungan sebelah timur, persis berbalik punggung dengan Jalatunda.
Tetapi Dwi Cahyono menuturkan hipotesis, bahwa bukan tidak mungkin Candi Belahan dan Jalatunda memang sudah ada sebelum Mpu Sindok, yakni berupa patirtan kecil. Menurut kebiasaan, setiap bangunan kuno tidak dibangun dalam satu waktu, melainkan lintas masa. Begitu pula Jalatunda, meski ketika dibangun oleh Udayana diperkirakan sudah dalam kondisi bagus, sebagaimana ditunjukkan oleh prasasti Gempeng dan angka tahun 899 Saka di dindingnya. Renovasi tentu dilakukan pada masa setiap raja yang berkuasa. Airlangga berperan besar dalam renovasi Jalatunda. Ketika memasuki Majapahit, renovasi Jalatunda sudah final, terintegrasi dengan bangunan-bangunan punden berundak yang ada di lereng Penanggungan. Pada masa Majapahit paling-paling hanya membangun bangunan-bangunan kecil di sekitar Jalatunda untuk menyemarakkan patirtan itu.
(Bersambung)
[i] Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur. “Jalatunda, Patirtan di Kaki Gunung Penanggungan. Diterbitkan tahun 2005.
[ii] Ninie Susanti. “Airlangga, Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI”. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
[iii] Agus Aris Munandar.opcit