Artikel

Jelajah Budaya Tirtayatra (14): JALATUNDA ADALAH PERPUSTAKAAN

no-img
Jelajah Budaya Tirtayatra (14): JALATUNDA ADALAH PERPUSTAKAAN

Catatan Henri Nurcahyo

JALATUNDA bagi umat Hindu adalah tempat suci untuk persembahyangan dan upacara ritual. Bagi kalangan ilmuwan, Jalatunda adalah laboratorium ilmiah yang sangat menarik dikaji keberadaannya lantaran masih banyak yang belum terungkap. Keberadaan batu-batuan arca di halaman dan dalam bangunan menunjukkan bahwa bentuk asli Jalatunda masih belum dapat direkonstruksi secara utuh.  

Juga adanya relief di seputaran dinding kolam yang sebagian besar disimpan di museum, yang ternyata berisikan kisah Mahabarata yang terkenal itu. Menurut penelitian, relief itu menggambarkan adegan cerita tentang kerajaan Hastinapura, mulai dari raja Sentanu Murti sampai zaman Raja Janamejaya, keturunan Pandawa. Pada bagian akhir relief itu menceritakan tentang Udayana, putra dari Sahasranika, raja dari kerajaan Vatsa, yang masih keturunan Pandawa. 

Bagi anak-anak sekolah dan mahasiswa pun keberadaan Candi Patirtan Jalatunda ini dapat menjadi objek wisata budaya yang bermuatan edukatif. Jalatunda adalah sebuah perpustakaan yang siap menyambut siapa saja yang mau sinau. Mereka dapat belajar mengenai aspek sejarah yang melatarbelakanginya, tentang mata air yang tak pernah surut, dan kearifan lokal terhadap candi tersebut.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, lantaran fungsi candi Jalatunda adalah sebagai tempat samadi atau pertapaan. Maka tidak mengherankan sebagian masyarakat, biasanya kalangan yang berumur dan beradat Jawa, lebih memahami Jalatunda sebagai kawasan wisata spiritual. Biasanya, setiap hari Kamis malam banyak yang melakukan meditasi di kawasan candi ini, dan juga mandi di kolam candi saat tengah malam. Lebih-lebih ketika saat pergantian tahun Jawa atau menjelang tanggal 1 (satu) Syura, Jalatunda penuh sesak dengan para penggemar wisata spiritual ini. Untuk bisa mandi di kolam sampai harus antri berjam-jam. Kadang ada kejadian menggelikan, ketika dilihat ada tempat lowong di kolam, kemudian ada yang langsung masuk ke kolam,  padahal di dalamnya ada orang yang sedang berendam.

Pengunjung yang bakal melakukan ritual inilah bertujuan untuk ngalap berkah. Berkah yang  diharapkan oleh ritualis perempuan adalah untuk menambah kecantikan dan awet muda. Sedangkan bagi yang laki-laki biasanya berharap mendapatkan kecerahan menjelang pergantian pejabat, menginginkan jabatan atau kekuasaan lebih tinggi, ingin kaya, dan semacamnya. Mungkin bukan pada Jalatunda atau danyang di Jalatunda mereka berharap seperti itu, namun setidaknya dengan niat seperti itulah mereka melakukan pembersihan diri di Jalatunda. Jadi hanya niatnya, entah kalau zaman dulu, dimana para arwah dan tempat suci masih dipercaya dapat memberikan berkah.

Bagi yang suka bersamadi, percaya betul bahwa di kawasan Jalatunda terdapat aura mistis tertentu sehingga dapat menjadi sarana berkomunikasi dengan dunia supranatural. Konon ada yang bisa mendapatkan keris atau pusaka lain saat bersemedi di Jalatunda. Sementara di dekat petilasan Narotama, malah disediakan ruangan khusus untuk melakukan meditasi.  Tidak jarang mereka membawa nasi lengkap beserta lauknya di petilasan Narottama sebagai nadar ketika permintaannya dikabulkan.

Citra candi Jalatunda sebagai objek wisata ritual memang tak lepas dari fungsi candi Jalatunda (dan juga puluhan candi di atasnya) sebagai tempat pemujaan roh nenek moyang dengan meletakkan sesajen di bagian paling atas candi. Hal ini ada kaitannya dengan model arsitektur punden berundak, ada kepercayaan bahwa arwah nenek moyang yang sudah meninggal masih bersemayam di tempat-tempat yang tinggi seperti gunung, bukit atau teras teratas dari bangunan berundak.

Pada saat bulan purnama, tanggal 15 menurut penanggalan Jawa, candi Jalatunda dijadikan tempat upacara ritual umat Hindu, yang datang dari berbagai penjuru, termasuk dari Bali. Dalam berbagai artikel sering di media massa sering ditulis, tanggal 1 Syura atau 1 Muharam ini bertepatan dengan bulan purnama, tentu saja ini keliru, sebab  pada tanggal 1 penanggalan Jawa bulan sedang “mati”. Itu sebabnya sampai diperlukan melihat munculnya hilal untuk menentukan 1 Syawal sebagai tanda Idul Fitri.

Pada zaman dulu, di Jalatunda orang memohon anugrah Dewa untuk mendapatkan kebahagiaan. Caranya dengan membersihkan diri dulu kemudian memuja arca di patirtan tersebut. Diteruskan dengan melakukan samadi, pemusatan fikiran dan yoga. Dalam Kakawin Parthayajna disebutkan,  bahwa patirtan tersebut merupakan tempat orang mencapai kelepasan atau moksa. Air amrta  dalam patirtan tersebut dipercaya dapat mensucikan atau melenyapkan dosa, atau mungkin tepatnya sebagai sarana simbolis pembersihan dosa. Di candi Jalatunda orang dapat mencapai moksa atau kelepasan dari samsara (kesedihan) melalui cara bertapa atau yoga dan melakukan konsentrasi spiritual dan mental serta melakukan penyucian.

KEARIFAN LOKAL

Dalam konteks masa kini, tentu saja hal-hal seperti tersebut di atas dapat dianggap sesat, syirik dan semacamnya.  Aspek positifnya adalah, bahwa kawasan Jalatunda adalah lingkungan yang tenang, sejuk, suasananya sangat religius, dan sangat cocok untuk mengakrabi keheningan terutama pada malam hari yang memang semula tanpa penerangan listrik sama sekali. Namun dalam perkembangannya, demi alasan keamanan,  ternyata pengelola objek wisata budaya ini justru memberikan aliran listrik sekadarnya dari tenaga diesel.

Soal mitos air amrta yang bertuah, yang jelas air di patirtan itu memang bersih, segar dan dapat langsung diminum. Mandi dan minum dengan air berkualitas seperti itu tentu saja dapat menyegarkan fisik yang diharapkan juga dapat menyegarkan pikiran. Hal ini merupakan bentuk kearifan lokal. Penjelasannya adalah, bahwa air yang keluar dari mata air Jalatunda itu berasal dari lereng Jalatunda yang berhutan rimbun, penuh dengan tumbuhan rempah-rempah (kunir, laos, jahe, dan aneka rempah lainnya) serta pohon-pohon jenis langka dan besar (resap, pundung, sono dan banyak lagi) yang memiliki perakaran yang dapat menjadi filter alami.

Demikian pula keberadaan ikan-ikan yang berenang bebas di kejernihan air di kolam Jalatunda. Masyarakat tidak ada yang berani mengambilnya lantaran takut tertimpa petaka. Mereka lebih suka memberinya makanan ketimbang mengambilnya. Kalau kemudian ada yang sakit, keluarganya datang dan memohon maaf dengan cara membakar kemenyan di patirtan. Tak heran maka puluhan ikan Nila yang cantik-cantik itu sudah berukuran besar melebihi ukuran normalnya.  

Belum ada pendataan, ada berapa jenis ikan yang ada di kolam candi ini. Apalagi di kemudian hari ternyata ada yang “iseng” menceburi benih-benih jenis ikan yang lain. Petugas dari BPCB Trowulan sudah berulangkali mengambil ikan di kolam ini dalam jumlah yang banyak untuk dipindahkan ke lokasi lain namun sepertinya populasinya tidak berkurang. Keberadaan ikan di kolam ini sudah tentu over kapasitas yang sebetulnya tidak baik bagi ikan, namun lantaran air segar terus menerus mengalir maka pasokan oksigen masih mencukupi untuk membuat ikan-ikan itu tetap sehat.

Yang jelas, pemahaman yang melarang pengambilan ikan ini merupakan bentuk kearifan lokal dalam menjaga kelestarian ikan-ikan itu sendiri.

Bentuk kearifan lokal lainnya adalah larangan menggunakan sabun, sampo, dan buang air (pipis) saat mandi di kolam (laki-laki dan wanita) yang ada di kanan kiri candi. Termasuk juga, bagi wanita yang sedang haid (datang bulan) juga dilarang mandi di kolam ini. Disamping sebagai bentuk penghormatan terhadap tempat suci, larangan ini juga demi kebersihan, kesehatan dan untuk mencegah terjadinya pencemaran air Jalatunda yang merupakan sumber air minum. Pencemaran itu tentu juga langsung berpengaruh terhadap ekosistem ikan di kolam.

Ritual Ruwat Sumber yang dilakukan masyarakat desa setempat setiap bulan Syura adalah juga bentuk kearifan lokal bagaimana menghormati keberadaan mata air Jalatunda yang tidak pernah berkurang debitnya sepanjang masa ini. Bahkan menurut catatan ilmuwan Belanda, prosesi Ruwat Sumber ini sudah ditemukan pada tahun 1907. Ketika hujan tidak pernah turun, pada waktu itu, masyarakat setempat mengadakan selamatan dengan nasi, dawet dan membakar kemenyan untuk meminta hujan.  Ritual Ruwat Sumber ini masih terus berlangsung setiap tahun hingga sekarang, yang dilakukan pada minggu pertama bulan Syura, maksimal tanggal 10, bertepatan dengan hari Minggu. Setiap penduduk datang berarakan membawa ambeng (tumpeng berisi nasi, sayur dan lauk) dan langsung di makan bersama di tempat itu.

Penghormatan ini tentu akan jauh lebih bermanfaat kalau tidak hanya berhenti sebatas ritual belaka, melainkan dilanjutkan dengan aksi-aksi kongkrit penyelamatan puluhan mata air yang terdapat di areal bawah Jalatunda. Bagaimanapun keberadaan sumberdaya air tetap ada batasnya, karena terkait dengan kelestarian hutan di lereng Penanggungan yang menjadi daerah penyangga dan resapan air. Pada tahun 1983-1985 banyak dilakukan penanaman Kaliandra di lereng Penanggungan untuk memperbesar potensi sebagai daerah resapan, meskipun di sisi lain ternyata berpengaruh terhadap keberadaan batu-batuan candi. Kerimbunan hutan kaliandra itu malah menjebol batu-batuan candi terutama yang berada di lereng terjal.

Sementara kalangan seniman memanfaatkan candi patirtan Jalatunda sebagai arena ekspresi kesenian. Tahun 2000 pernah diselenggarakan Kemah Budaya Jalatunda oleh Lembaga Ekologi Budaya (Elbud) bekerjasama dengan Padepokan Lemah Putih Solo. Kalangan seniman dari berbagai negara datang ke acara ini, berkolaborasi dengan seniman Jawa Timur dan juga para aktivis NGO melakukan olahrasa di ketenangan dan kesejukan lingkungan Jalatunda. Sebuah diskusi mengenai kepurbakalaan Jalatunda juga digelar di pendopo yang ada di dekat candi.

Delapan tahun kemudian, PPLH bersama dengan jaringan LSM dan lembaga kesenian menggelar Pasamuan Internasional Budaya Panji. Selain diskusi-diskusi dan pertunjukan kesenian yang dilakukan di PPLH sendiri, candi Jalatunda juga dimanfaatkan sebagai sarana ekspresi kesenian. Sejumlah seniman dari berbagai daerah, serta seniman dari Jepang dan Inggris secara sendiri-sendiri maupun berkolaborasi secara spontan di dalam kolam serta bagian-bagian candi lainnya. Koreografer Heri Lentho malah melakukan ujicoba pementasan Panji Remeng di kolam dan bangunan candi ini sebelum dipentaskan di gedung pertunjukan Cak Durasim Surabaya. 

(Bersambung)

In category: Artikel
Related Post
no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...

no-img
JELAJAH BUDAYA CANDI GUNUNG GANGSIR

PASURUAN: Acara bulanan rutin Dialog Budaya Komunitas Seni Budaya BrangWeta...