Artikel

Jelajah Budaya Tirtayatra (15 – Habis): REVITALISASI CANDI JALATUNDA

no-img
Jelajah Budaya Tirtayatra (15 – Habis): REVITALISASI CANDI JALATUNDA

Catatan Henri Nurcahyo

SESUNGGUHNYA masih banyak yang dapat diceritakan terkait dengan Candi Patirtan Jalatunda, tetapi rangkaian tulisan ini hanyalah sebuah langkah awal untuk penulisan selanjutnya. Hanya bercerita mengenai air amrta saja sudah dapat menjadi buku tersendiri. Apalagi ternyata terdapat puluhan mata air di kawasan pemukiman, sawah dan hutan yang keluar dari sumber Jalatunda ini. Itu sebabnya penduduk desa menganggap sangat berkepentingan dengan kelestarian puluhan mata air ini. Mereka rajin melakukan ritual ruwat, sebagai upaya spiritual setiap tahun.

Demikian pula menyangkut aspek spiritualitas, hubungannya dengan Kejawen (Agami Jawi, kata Koentjaraningrat), mengingat aura Jalatunda memang sangat kental dengan hal-hal seperti itu. Pengalaman spiritual para pelaku yang suka ngalab berkah tentu menarik untuk diceritakan. Mereka rela bersamadi semalam suntuk di altar Jalatunda, di beberapa tempat yang dianggap sakral di sekitar patirtan, termasuk di petilasan Narotama. Bagaimana pula kepercayaan mereka yang suka berendam dalam kolam Jalatunda, sampai-sampai memilih waktu khusus malam Jum’at Legi, malam satu Syura, juga saat bulan purnama memancar penuh. Penduduk setempat sendiri juga memiliki kecenderungan kuat dengan aspek spiritualitas Kejawen, masih percaya dengan hal-hal berbau mistik, bukan sekadar rutin menjalankan ritual Ruwat Sumber belaka.

Candi Patirtan Jalatunda dalam konteks sekarang ini nampaknya perlu dilakukan revitalisasi, agar makna keberadaannya tidak dikaburkan oleh aspek wisata yang salah arah. Pertumbuhan warung-warung di sekitarnya yang sedemikian cepat telah menciptakan suasana tersendiri yang perlu dicermati. Semakin banyak warung, semakin banyak sampah plastik diproduksi. Kemana larinya bungkus-bungkus makanan dan minuman instan tersebut? Juga keberadaan hutan lindung di sekitarnya, tetap perlu dijaga secara ketat peruntukannya, dan tidak boleh membiarkan menjadi arena lintas motor offroad, dikelola petani dengan tanaman semusim, dan pengawasan lainnya.

Soal relief-relief yang sudah disimpan di museum tersebut juga dapat menjadi cerita menarik manakala diteliti dan dituliskan sebagai bacaan. Sehingga pemahaman terhadap Jalatunda tidak hanya sebatas fisik yang dilihat sekarang ini saja, melainkan diketahui lebih luas dan mendalam. Semakin banyak yang diketahui mengenai candi patirtan ini tentu akan menumbuhkan kecintaan yang apresiatif. Bahwa Jalatunda merupakan sebuah perpustakaan yang tak pernah habis dibaca sampai kapanpun. Karena dengan Jalatunda lantas dipahami dalam perspektif yang dinamis, bukan sebatas batu purba yang pasif.

Candi Patirtan Jalatunda, memang bukan candi biasa. Keberadaannya bersama puluhan peninggalan purbakala di lereng Penanggungan adalah sebuah pekerjaan rumah yang sangat menantang dipelajari. Bukankah kawasan Jalatunda pada masa lampau adalah sebuah wilayah perguruan para Rshi? Tentu tak ada salahnya mengembalikan Jalatunda menjadi semacam kampus pendidikan juga. Ini adalah sebuah tantangan yang menarik.

Yang disayangkan, ternyata masih ditemukan tindakan vandalisme terhadap bebatuan candi yang berusia ratusan tahun itu seenaknya diukir dengan graffiti khas anak muda. Ini jelas tindakan barbar yang sangat merusak dibanding hanya mencoret pakai cat misalnya.

Ketika diadakan Kemah Budaya Jalatunda tahun 2000, waktu itu seluruh areal candi digunakan sebagai “panggung” pertunjukan. Meskipun sebetulnya sudah ada tulisan “dilarang naik ke atas candi”. Petugas Cagar Budaya yang waktu itu hadir sebagai narasumber dalam acara di pendopo menegur hal ini. Bahkan dia cenderung marah karena dianggapnya seniman tidak mau tahu aturan. Tetapi Yunani Prawiraatmaja (alm) yang waktu itu hadir sebagai peserta diskusi melontarkan kritik balik (kurang lebih begini):

“Kalau seniman dianggap melanggar peraturan seharusnya pemerintah juga tidak melanggar peraturan,” tegasnya

Dibangunnya pendopo dan bangunan-bangunan lain ini, kata Yunani, itu sudah melanggar peraturan karena berada di zona A yang dilarang membangun apapun.

Begitulah yang terjadi, di arah selatan candi di lahan yang menanjak memang dibangun beberapa gazebo dan di puncaknya ada sebuah pendopo sebagai tempat pertemuan. Kondisi pendopo tersebut sekarang sudah tidak terawat. Bagian plafonnya Sebagian ada yang jebol sehingga dipasang papan pengumuman agar pengunjung tidak memasuki pendopo demi keselamatan.

Sayang sekali saya tidak menyimpan dokumentasi acara yang diselenggarakan oleh Lembaga Ekologi Budaya (Elbud) tersebut. Yang saya ingat, waktu itu petugas dokumentasinya adalah pelukis Bambang Harryadjie (Bambang Thelo, alm). Namun pada saat itu dia mengalami kecelakaan naik motor hingga melukai wajahnya.

Tahun 2008, Kembali diselenggarakan acara Pasamuan Internasional Budaya Candi yang melibatkan banyak Lembaga, diantaranya PPLH Seloliman, Dewan Kesenian Jatim, Yayasan Kaliandra, Padepokan Lemah Putih Solo, Agus Bimo Prajitno dari Klaten, dan siapa lagi saya lupa. Waktu itu diskusi-diskusi diselenggarakan di lingkungan PPLH.

Juga pertunjukan seni Panji Remeng dari Heri Lentho, komunitas Topeng Sandur Manduro (Jombang), Fajar Satriadi dari Solo, penari topeng Wangi Indriya dari Indramayu, Sitras Anjilin (Magelang), Soleh Adipramono yang menyajikan Wayang Topeng, Lynda Bransbury (Inggris), Jasmin Akubo (Jepang), Adar Treger (Prancis) dan tentunya Padepokan Lemah Putih yang dipimpin oleh Soeprapto Soeryodarmo (alm).

Sama seperti acara sebelumnya, para seniman juga memanfaatkan seluruh areal candi sebagai “panggung” pertunjukan. Mulai dari halaman candi, kolam bawah, kolam atas dan seolah tak ada celah sejengkalpun tanpa dimanfaatkan untuk ekspresi. Maklum, ini memang bukan kesenian panggung melainkan menyatu dengan penonton.

Kondisi mutakhir, ketika rombongan Komunitas Budaya BrangWetan melakukan Jelajah Budaya Tirtayatra (2021) ternyata akses menuju altar atas candi sudah betul-betul ditutup. Juga areal samadi di bagian belakang atas candi hanya bisa dicapai dari satu sisi dari arah selatan saja. Memang ini lebih bagus, sehingga kalua toh ada lagi pertunjukan kesenian di kawasan ini maka keberadaan Candi Jalatunda hanya menjadi latar belakang saja. Gak papa.

(Selesai)

Keterangan: Semua foto adalah acara Pasamuan Internasional Budaya Panji tahun 2008.

In category: Artikel
Related Post
no-img
DESA BUNGURASIH BUKAN DARI MBAH BUNGUR

Oleh Henri Nurcahyo   BUNGURASIH selama ini dikenal karena keberadaan ...

no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...