ArtikelSeni Tari

PAMERAN  LUKISAN BERBASIS SERAT LONTAR YUSUP

no-img
PAMERAN  LUKISAN BERBASIS SERAT LONTAR YUSUP

Catatan Henri Nurcahyo

Ini pameran lukisan yang unik. Temanya adalah “Gesah Lontar Yusuf” (kadang ditulis Yusup). Kata Gesah itu sendiri dalam bahasa Using yang artinya semacam ngobrol atau jagongan. Sedangkan Lontar Yusup adalah sebuah manuskrip kuno yang berisi kisah kehidupan salah satu Utusan Tuhan, bernama Nabi Yusuf  sejak usia belia sampai menjadi pembesar negeri Mesir. Nah, bisa dibayangkan, padahal ini pameran lukisan kontemporer.

Penyelenggara pameran ini juga tak kalah uniknya. Namanya “Kelompok Satu Sama.” Sebagaimana dijelaskan oleh N. Kojin dan juga Sarwo Prasojo, dua di antara anggotanya, Satu Sama adalah 11 (baca: satu dan satu) karena dulu anggotanya berjumlah sebelas, bahkan lebih dari itu, sampai puluhan pelukis. Ketika tinggal 11 orang maka dinamakan Kelompok Satu Sama (1 dengan 1). Nama ini tetap dipertahankan meski jumlah anggota hanya tinggal 9 (Sembilan) pelukis. Selain kedua nama tadi ada nama Troy Herman, Susilowati, Fafan Ariyadi, Ben Hendro, Elyezer, Ilyasin, dan Lilok Winardi.

Atau bisa juga bermakna bahwa mereka sudah menjadi 1 (satu) dalam hal visi memaknai seni lukis.

Sembilan pelukis ini sudah mengikat kesepakatan bahwa mereka akan menggelar pameran bersama setiap bulan di rumah atau tempat tinggal masing-masing secara bergiliran dengan tema yang ditentukan oleh tuan rumah. Dengan demikian mereka harus siap dengan 9 (sembilan) macam tema yang disiapkan untuk dipamerkan setiap bulan. Lantas, apakah hal ini menjadi belenggu? Tentu saja tidak. Setiap pelukis tetap dengan gayanya masing-masing, tidak berubah, meski temanya ditentukan. Setiap pelukis berhak menafsirkan tema yang sudah ditentukan dan mengeksekusinya sesuai dengan gayanya sendiri. Tidak ada pemaksaan atau menyeragamkan gaya.

Pameran yang berlangsung 24 – 30 Juli 2022 kali ini adalah pameran yang kelima, diselenggarakan di N. Kojin (Byaen) Art Studio,  yang terletak di Dusun Krajan, Desa Jelun, Kec. Licin,  sejauh 9,8 kilometer dari Stasiun Banyuwangi Kota. Dari lokasi pameran ini hanya sekitar  5 kilometer menuju Ijen Geopark. Soal lokasi pameran ini juga menjadi keunikan lainnya. Bayangkan, pameran lukisan kontemporer diselenggarakan di pelosok desa. Bagaimana masyarakat setempat meresponnya? Pengalaman dari pameran-pameran sebelumnya, sebagaimana dituturkan oleh Sarwo Prasojo, ada warga desa yang takut masuk ruangan. Ketika diminta mengisi buku tamu malah kuatir dikira membayar. Kalau toh ada yang berani menonton pameran, pertanyaan mereka juga  khas orang awam, seperti: Ini lukisan apa; Apa maksudnya; Alirannya apa? Dan sebagainya. Biasanya, warga desa memasuki ruang pamer kala sore hari selepas bekerja di sawah.

Dan yang juga menarik, selang beberapa jam sebelum pembukaan pameran, diadakan arak-arakan Barong dari lokasi pameran keliling jalan desa dan finish di tempat semula. Para pelukis yang berpameran juga ikut arak-arakan bersama dengan kepala desa dan tokoh masyarakat dan warga desa. Dua kelompok pemain tetabuhan mengiringi sebuah barong yang diusung oleh empat orang. Pada mulanya tradisi mengarak barong keliling desa itu merupakan ritual adat warga Osing Kemiren sebagai wujud syukur dan harapan agar dianugerahi kesuburan dan kesehatan. Namun hal ini kemudian direplikasi oleh warga desa lain di Banyuwangi dan bahkan menjadi ciri khas keramaian kota di ujung timur pulau Jawa tersebut.

Sementara ketika acara pembukaan malam harinya dimeriahkan dengan sajian pertunjukan musik dan teater.

Membaca Lontar Yusup

Ada tradisi di Banyuwangi bahwa manuskrip Lontar Yusup dibacakan dalam suatu kebersamaan di sebuah tempat. Karena itu dinamakan Mocoan Lontar Yusup sebagai salah satu representasi kultural masyarakat Osing. Lontar Yusup di Banyuwangi merupakan naskah kuno yang ditulis di atas lontar dan hidup secara tekstual karena masih disalin terus-menerus dalam bentuk tulisan tangan dan juga hidup dalam bentuk ritual pembacaan tembang semalam suntuk.

Sebagaimana ditulis Wiwin Indiarti dalam kata pengantar pameran lukisan ini, Lontar Yusup berwujud puisi tradisional yang terikat dalam aturan persajakan tertentu (metrum) yang disebut pupuh. Terdiri dari 12 pupuh dengan empat pupuh dasar yaitu kasmaran, durma, pangkur dan sinom, kisah tentang Nabi Yusup ini diceritakan dengan cara yang unik dan istimewa.  Ia menyimpan kode-kode simbolik, seperti ketika Nabi Yusuf bermimpi tentang matahari, bulan dan sebelas bintang yang bersujud kepadanya; Nubuat tentang mimpi raja Mesir –  tujuh sapi kurus memangsa tujuh sapi gemuk, tujuh daun kering melahap daun daun hijau -; Banyu arum yang menjadi salah satu perangkat ritual mocoan Lontar Yusup, dan sebagainya.

Narasi kisah dan kode-kode simbolik dalam lontar Yusup, baik secara tekstual maupun tradisi pelantunan tembangnya, amat menarik untuk dimaknai dan direspon dalam wujud karya seni rupa atau seni lukis  oleh seniman dengan gaya dan gairah personal masing masing. Nah dari sinilah titik berangkat pameran lukisan ini.

Wiwin Indiarti, peneliti Lontar Yusup dan dosen Universitas Banyuwangi, ketika hadir dalam praacara pembukaan pameran, mengaku belum melihat karya-karya lukis tersebut. Menurutnya, dia ingin melihat lukisan-lukisan yang akan dipamerkan sebelumnya tetapi saat itu belum siap. Menurut Kojin, sebagaimana dikatakan pada Wiwin, teman-teman perupa di Komunitas Satu Sama mengaku ini tema paling sulit. Sebetulnya Wiwin ingin bisa ketemu untuk diskusi singkat tentang Lontar Yusup dan tradisi lisan berbasis naskah kuno tersebut. Ya siapa tahu bisa menjadi ide lukisan.

“Ya sudah Mbak biarkan teman-teman merespons dengan cara masing-masing,” ujar Kojin sebagaimana ditirukan Wiwin.

Ada benarnya sikap Kojin. Bisa dibayangkan seandainya para pelukis itu mendapat masukan lebih dulu dari Wiwin maka bisa jadi mereka hanya menjadi semacam ilustrator Lontar Yusup menurut Wiwin. Mereka menjadi tidak bebas lagi menafsirkan naskah kuno tersebut. Semula nama Wiwin Indiarti sempat dipasang  sebagai kurator namun dia menolak karena  merasa tidak punya kompetensi.

Serat Yusup Dalam Lukisan

Jadi, apakah para pelukis tersebut telah berhasil menafsirkan Lontar Yusup dalam karya-karya kontemporer mereka?

Ketika ada pengunjung pameran yang menikmati sebuah lukisan, saat itulah pelukis yang bersangkutan menerangkan karyanya. Penjelasan ini oleh panitia direkam melalui video sebagai bahan apresiasi dan sekaligus menunjukkan bahwa pelukis tersebut benar-benar menjadikan Serat Yusup sebagai sumber inspirasinya.

Troy Herman P, misalnya, menghadirkan lukisan  daun hijau dan daun kering secara artistik. Menurutnya, ide karya ini diperoleh dari cerita Lontar Yusup yang bercerita tentang sebuah daun  tua yang dimakan oleh 7 daun muda. Hal ini dipahami sebagai sebuah cerita di mana ada masa susah dan ada masa makmur. Dalam karya yang berjudul “Berbakti” ini menguarkan pesan bahwa bila daun sudah tua akan berbakti dengan cara memberikan tubuhnya sebagai sedekah pada bumi berupa pupuk.

Ide yang serupa juga dikemukakan oleh Ilyasin dalam karya berjudul “Siklus.” Tafsir mimpi Yusup perihal “tibanya 7 musim subur berlimpah bahan pangan disusul kemudian 7 musim paceklik, divisualkan dengan imajinasi alam subur tumbuh-tumbuhan dan buah buahan sangat mencukupi manusia “Indonesia” ( teriring doa setiap goresan) tidak akan ada musim paceklik lagi.

Pesan universal ini juga menjadi landasan karya Susilowati yang mengambil hikmah bahwa mereka yang rajin menabung akan lebih siap menghadapi masa-masa sulit secara ekonomi. Karena masa sulit tidak tahu kapan akan menghampiri.

Bagian cerita yang menarik dalam Kisah Nabi Yusup adalah perihal seorang wanita cantik bernama Zulaikha yang jatuh cinta melihat ketampanan (Nabi) Yusuf yang saat itu menjadi budaknya. Zulaikha menarik baju Yusup hingga robek. Semula Yusup disalahkan karena dituduh hendak berlaku kurang terpuji terhadap istri majikannya. Namun bagian belakang baju yang robek mengindikasikan bahwa Yusup dalam posisi menghindar dari Zulaikha yang berniat menggodanya.

Namun Zuklaikha tidak mau disalahkan begitu saja. Pada suatu kesempatan dia mengumpulkan para perempuan untuk bersama-sama menikmati buah apel. Saat itulah Yusup dihadirkan. Apa yang terjadi? Tanpa disadari  semua perempuan itu tanpa sengaja melukai tangannya sendiri dengan pisau karena terpesona melihat ketampanan Yusup.

Cerita inilah yang kemudian divisualkan oleh Fafan Ariyadi berupa lukisan buah apel yang tampak indah dan enak dengan latar belakang banyak tokoh perempuan yang dilukiskan secara ornamentik (pewayangan) Jawa sebagai simbol cerita ini berkembang dan dilestarikan di pulau Jawa.

Ketampanan pemuda bernama Yusup itu pula yang dieksplorasi oleh Elyezer dalam dua buah karyanya yang bernuansa dominan biru. Menurutnya, dalam zaman yang serba tersedia seperti hari ini maka yang namanya menahan godaan nafsu birahi itu merupakan hal yang langka. Semua berada dalam genggaman. Tetapi pemuda ganteng, santun, lembut, rajin, dan pemegang nilai moral baik itu bernama Yusup.

Sementara Lilok Winardi juga menafsirkan kisah Zuklaikha menggoda Yusup dalam karya nonfiguratif. Sedangkan karya lainnya bertolak dari tanda kenabian Yusup yang tersampaikan lewat sebuah mimpi semasa kecilnya perihal matahari, bulan dan sebelas bintang yang sujud kepadanya.

Dari semua karya yang dipamerkan ternyata terbebas dari karya-karya yang sekadar bersifat ilustratif. Selain contoh-contoh karya yang disebutkan di atas, beberapa karya lainnya tidak secara langsung menyebut-nyebut KisahYusup namun berangkat dari substansinya. Sarwo Prasojo misalnya, menyajikan empat karya dengan judul yang sama yaitu “Tiada Batas.” Ini adalah sebuah kisah yang sebenarnya adalah tuntunan hidup dari yang Maha Hidup, agar semua hambanya yang mengikuti petunjuknya dengan ikhlas mendapat keluasan RahmatNya berupa selalu berada  di dekat yang Maha Dekat. Hal itu merupakan sebuah keberuntungan yang paling sempurna dalam kehidupan ini.

Begitu juga Ben Hendro yang cukup mengangkat gagasan soal bulan dan bintang secara nonfiguratif. Sedangkan N. Kojin nampaknya sengaja membiarkan apresian menafsirkan sendiri dua buah karya abstraknya dengan judul “Dialog.” Tak ada deskripsi, kecuali kalimat singkat “Meneladani kehidupan manusia di Bumi.”

Jujur saja, apa yang dilakukan Kelompok Satu Sama ini layak mendapat pujian. Mereka tidak mau terjerembab dalam godaan “lukisan asal laku” dengan menghamba pasar di Bali. Kewajiban pameran bersama setiap bulan di tempat-tempat yang tidak mainstream sebagai galeri seni menunjukkan bahwa mereka memang menolak sikap elitisme. Bahwasanya pelukis yang berkarya dengan lukisan kontemporer sekalipun bukanlah harus berada di menara gading. Mereka terjun langsung ke tengah-tengah warga desa, tidak peduli apakah karyanya bisa “dipahami” atau tidak. Kemeriahan pracara berupa arak-arakan Barong adalah sebuah cara untuk mengakrabkan “event perkotaan” ini dengan keseharian warga desa. Beruntunglah Kepala Desa Jelun bersedia mendukung dan turun langsung memeriahkan acara ini.

Sementara kalangan komunitas perupa atau seniman lainnya biar saja datang sendiri ke pelosok desa menyaksikan pameran yang jauh dari pusat kota ini. Tidak terkecuali, pelukis senior yang sudah dianggap legenda Banyuwangi yaitu S. Yadi K, menyempatkan diri hadir di pembukaan meski harus berjalan dibantu sepasang kurk lantaran salah satu kakinya diamputasi. Salut dan selamat yaa…. (*)

In category: ArtikelSeni Tari
Related Post
no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Menyiasati Cerita Panji agar Cocok untuk Anak

Pengantar Buku: “Cerita Panji Ramah Anak” SUATU ketika sejumla...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Belajar Melukis di Kampung Seni

SIDOARJO: Komunitas Seni Budaya BrangWetan punya kegiatan baru. Namanya “...