ReportaseSeni Tari

JELAJAH BUDAYA CANDI BELAHAN

no-img
JELAJAH BUDAYA CANDI BELAHAN

PASURUAN: Selepas dari Candi Gunung Gangsir rombongan Jelajah Budaya Komunitas Seni Budaya BrangWetan segera bergeser ke Candi Belahan di kawasan Gempol Pasuruan. Udara panas menyengat selama berada di Candi Gunungsangsir segera terobati oleh hawa sejuk di kawasan candi yang juga disebut Candi Sumber Tetek tersebut. Tanpa terasa hari sudah merambat menjelang senja, tiba-tiba rombongan seniman yang dari Candi Gunung Gangsir datang menyusul. Mereka mengiringi perjalanan seniman Bambang Eka Prasetya (Bambang BEP) juru cerita relief candi Borobudur yang baru saja mengikuti acara Srawung Seni di Pandaan. Bersamanya ikut pula seniman Indri Yuswandari dari Blitar.

Beberapa anggota BrangWetan sudah tidak asing dengan candi yang berada di  Dusun Belahan Jowo, Wonosunyo, Kecamatan Gempol, sekitar 40 km ke arah barat kota Pasuruan. Candi ini merupakan salah satu destinasi perjalanan Jelajah Budaya Tirtayatra yang pernah diselenggarakan BrangWetan dua tahun lalu. Perjalanan dimulai dari Candi Jawi, Belahan, Jedong dan finish di Jolotundo. Selepas masa pandemi ini paket Jelajah Budaya Tirtayatra segera diadakan lagi.

Candi Belahan adalah cagar budaya berupa sebuah pemandian (patirtan) bersejarah dari abad ke 11, pada masa kerajaan Airlangga. Daya tariknya adalah mata air yang dipancurkan berasal dari sepasang payudara sebuah arca, meluncur ke kolam persegi empat dengan ukuran 4×6 meter. Itulah sebabnya candi ini juga dikenal dengan nama Sumber Tetek (Tetek = payudara, Jw).

Candi yang terbuat dari batu bata ini terletak pada ketinggian sekitar 700 meter dpl (di atas permukaan air laut), merupakan salah satu candi yang belum pernah dipugar. Pada bagian dinding patirtan itu terdapat dua buah arca, yaitu Dewi Sri dan Dewi Laksmi. Hanya dari payudara Dewi Lakshmi yang mengucurkan air, sedangkan arca Dewi Shri tidak. Di depan arca Dewi Shri terdapat pancuran besar terbuat dari pipa besi tentu masih relatif baru keberadaannya dan sengaja dibuat untuk menyalurkan sumber air yang melimpah.

Pada awalnya di antara dua arca itu terdapat arca yang diduga merupakan arca Prabu Airlangga, yang berwujud Dewa Wisnu dengan empat tangan, yaitu tangan kiri bagian belakang memegang Sangka, dan tangan kanan bagian belakang memegang cakra, yaitu senjata berwujud roda bergerigi. Sedangkan dua tangan yang lain membentuk sifat Mudra, tulus bersemedi. Sayangnya arca utama tersebut telah lama runtuh dan hanya meninggalkan relungnya saja.

Selain sebagai tempat pertapaan Prabu Airlangga, konon petirtaan ini juga difungsikan sebagai pemandian selir-selir Prabu Airlangga. Patung atau arca Dewi Laksmi dan Dewi Sri merupakan penggambaran permaisuri Airlangga. Arca keduanya melambangkan kesuburan. Bagian puting arca Dewi Laksmi sempat diperbaiki, karena awalnya air yang keluar hanya jatuh di kakinya. Dikhawatirkan hal ini bisa merusak kaki patung, maka pengelola candi berinisiatif untuk memasang pipa di bagian dada tersebut agar airnya langsung meluncur ke kolam.

Mata air dari payudara ini merupakan simbol amarta, air yang dipercaya mampu memberikan kekuatan, penyembuhan, dan bagi yang meminum airnya, dapat memberikan khasiat awet muda. Meski Jawa Timur dilanda musim kemarau berkepanjangan, air dari petirtaan Candi Belahan tetap mengalir dan jatuh ke kolam yang berada tepat di bawahnya.

Air yang bersumber dari tetek patung Dewi Laksmi ini sangat jernih, hingga sampai sekarang digunakan sebagai keperluan sehari-hari. Oleh masyarakat setempat. Kebutuhan air bersih ini tak hanya dinikmati penduduk dusun Belahan Jowo, namun juga warga desa tetangga yang letaknya jauh di kaki gunung dan dikenal sebagai warga Belahan Nangka meliputi Dukuh Genengan, Jeruk Purut, Gedang, Pojok, Karang Nangka, Dieng, Kandangan serta penduduk Kunjoro yang berbatasan dengan Mojokerto.

Selain adanya relief pada dinding, relief juga terdapat pada bagian depan bangunan candi yang memiliki jenis relief naratif dan jaladwara, serta bagian bawah bangunan terdapat petirtan. Dari visualisasi tersebut Candi Belahan memiliki makna simbolik gapura sebagai pembatas antara daerah sakral dan daerah profan. Pada bangunan candi memiliki makna simbolik sebagai wujud triangga, yaitu simbol dari pembagian bangunan candi bagian bawah sebagai dunia bawah, bagian tengah sebagai dunia antara, bagian atas sebagai dunia atas atau dunia para dewa. Arca Dewi Sri adalah simbol dari Dewi Kesuburan, Dewi Laksmi adalah Dewi Kemakmuran, sedangkan Dewa Vishnu adalah Dewa Pelindung Dunia. Relief juga memiliki makna simbolik sebagai penambah kesakralan bangunan. Sedangkan pada petirtan bagian bawah bangunan sebagai tempat pemandian yang teraliri air amrta yakni air suci dari gunung penanggungan.[1]

Sementara itu di sisi paling kiri terdapat relief seperti orang tua atau pendeta yang mungkin menggambarkan mahluk kahyangan. Entah apa maksudnya.

Lantas, kapan candi Belahan dibangun? Indikasi tentang hal ini dapat ditemui dalam sebuah relief yang menggambarkan kepala raksasa sedang memakan bulan/matahari. Secara visual ini gambaran gerhana bulan atau gerhana matahari. Tetapi sebetulnya merupakan candrasengkala yang dapat dibaca sebagai tahun 1049 Masehi sebagaimana pendapat Stutterheim (1934) bahwa candrasengkala itu dibaca: 971 Saka  atau 1049 M.

Namun seorang perupa, Aryo Sunaryo memiliki pendapat lain, kemungkinan pahatan ini merupakan sengkalan memet tertua yg dibaca “Candra Sinahut Kala” (bulan dimakan buta Kala) yang bernilai 931 S / 1009 M. Candra sinaut Kala  merupakan ungkapan kalimat yang menunjuk pada pahatan reliefnya (jadi bukan sekadar sengkalan/candrasengkala lamba, tapi sengkalan memet = sengkalan visual). Pada relief itu terdapat bentuk kala (raksasa Rahu) yang sedang menggigit bentuk bulatan (bulan atau bisa juga matahari tapi tanpa sinar?). Sementara 2 sosok di bawahnya, ditafsirkan dewa Candra dan Surya. Gambaran sebuah mitos Hindu yang dikaitkan dengan terjadinya “gerhana bulan/matahari”.

Menarik sekali, jika memang benar kronogram bertahun 1009 M dengan peristiwa turunnya Airlangga dari pertapaannya yang juga th 1009 M itu. Sehingga sengkalan Memet menandai peristiwa itu dan bukan semata menandai peristiwa gerhana matahari/bulan.

Pemaknaan relief ini masih menjadi perdebatan para ahli. Entahlah, mana yang benar.

Yang jelas, dalam perjalanan pulang dari Candi Belahan ini hujan turun teras, mobil mengalami kendala saat melewati tanjakan, sehingga beberapa anggota BrangWetan terpaksa turun dalam kondisi kehujanan. Akibatnya, ada yang sampai di rumah jatuh sakit. Duuh… Semoga segera sembuh yaa.. (hn)

 

[1] http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/seni-desain/article/view/41209

In category: ReportaseSeni Tari
Related Post
no-img
BUNGURASIH DESA KUNO

  Penulis : Henri Nurcahyo   Pengantar : Prof Dr Purnawan Basundo...

no-img
Menyiasati Cerita Panji agar Cocok untuk Anak

Pengantar Buku: “Cerita Panji Ramah Anak” SUATU ketika sejumla...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Belajar Melukis di Kampung Seni

SIDOARJO: Komunitas Seni Budaya BrangWetan punya kegiatan baru. Namanya “...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...