Artikel

Musuh Aktivis Bukan Pemerintah

no-img
Musuh Aktivis Bukan Pemerintah

Catatan Pentas Teater Sanggar Lidi Surabaya

Oleh HENRI NURCAHYO

 

Sanggar Lidi Surabaya mementaskan teater di Gedung Cak Durasim dua minggu yang lalu (11/4) dengan judul “Aktivzm”. Pertunjukan ini berkisah mengenai hitam putih dunia aktivis, yaitu orang-orang yang pernah menjadi pelaku langsung terjadinya perubahan besar dalam perjalanan sebuah negeri. Mereka adalah para demonstran dan/atau aktivis pergerakan mahasiswa yang memiliki perhatian besar terhadap persoalan negara ketimbang hanya sibuk baca buku dan kuliah.

Meski bertopik tentang aktivis, sesungguhnya pertunjukan ini lebih banyak berkisah tentang para mantan aktivis yang sudah berubah nasibnya setelah sekian lama waktu berjalan. Memang masih ada yang masih menjadi mahasiswa, yang digambarkan lebih sibuk dengan game di gawainya, malas kuliah, lebih rajin ikut rapat organisasi kampus dengan alasan memperjuangkan rakyat kecil.

Karena itu, seorang pemilik warung melontarkan ejekan kritis: “Rakyat kecil sing endi kon iku? Ngurus uripmu ae berantakan, masih kalah dedikasi sama main game, pakai sok-sokan untuk perjuangkan rakyat kecil.”

Pertunjukan ini memang menyajikan plus minus yang terjadi dalam perjalanan para aktivis itu setelah sekian tahun berlalu. Dan yang sudah mereka lakukan itu bukanlah sebuah tindakan semata-mata saat itu juga, tetapi ada latar belakang panjang yang sudah ditorehkan para pendahulunya. Bahwa sepanjang perjalanan sejarah telah terjadi peristiwa kelam yang sulit terlupakan. Mulai dari pembunuhan massal tersangka PKI (1965-1966), malapetaka demonstrasi Malari (1974), pembunuhan misterius (1982-1983), hingga peristiwa aksi reformasi (1998) yang direpresentasikan oleh anak-anak muda dalam pementasan teater ini.

Kesemuanya itu dipertunjukkan melalui tayangan proyektor di layar lebar beserta tayangan angka tahun kejadian, dikombinasi dengan adegan sesungguhnya. Dan yang menarik adegan-adegan yang disuguhkan berikutnya digambarkan seolah-olah terjadi tahun 2020. Angka ini nyaris terabaikan karena yang kemudian berlangsung di atas panggung adalah kejadian yang sangat relevan dengan apa yang terjadi sekarang ini, dua tahun sebelum penanda angka tahun penanda tersebut.

Dalam pertunjukan yang naskahnya ditulis dan juga disutradarai oleh Totenk MT Rusmawan ini, digambarkan bahwa perjalanan waktu memang telah mengubah segalanya. Ada mantan aktivis yang masih miskin, harus berhadapan dengan kritik telak dari isterinya sendiri, dikejar-kejar rentenir, sampai kemudian isterinya minta cerai atas permintaan orangtuanya. Ada mantan aktivis yang sudah menjadi kaya, lupa dengan masa lalu yang miskin dan juga melupakan teman seperjuangannya.

Ada pula yang menjadi “aktivis bayaran” untuk melakukan unjuk rasa pesanan, menjadikan dunia pergerakan sebagai pekerjaan untuk mencari nafkah, bukan pengabdian. Dalam kaitan ini digambarkan sosok anggota DPRD yang menjadi dalang unjuk rasa untuk menaikkan posisi tawarnya terhadap pengusaha yang hendak investasi.

Yang kemudian bisa dikatakan “belum keluar dari rel” adalah staf kepresidenan yang menyadari posisinya menjadi sasaran unjuk rasa, namun mencoba memahami posisi mahasiswa sebagaimana dirinya sendiri ketika berada di posisi yang sama.

Dikatakan seorang tokoh: “….. sekalipun saya saat ini berada di dalam pemerintah tidak berarti saya berpihak terhadap semua langkah, khususnya jika ada program yang kuanggap tidak layak, tentu saja akan saya sampaikan, meskipun senantiasa tidak memiliki kekuatan mengubah atau mencegah.”

Bahwasanya yang disebut aktivis juga tidak melulu laki-laki (mahasiswa) melainkan juga mahasiswi. Secara umum,  mahasiswi-mahasiswi era saat ini, merasa keadaan bangsa baik-baik saja, dan justru mereka malah antipati terhadap para aktivis itu.

Sebagaimana dibawakan dalam sebuah dialog: “Bahkan aku saja heran, masih sering kudengar kawan-kawan aktivis berdikusi tentang kebenaran, namun ironi, setelahnya mereka ngumpul mabuk-mabukan, nongkrong tidak jelas. Dan yang lebih parah kaum laki-lakinya menggoda para perempuan. Ya jangan salahkan perempuan-perempuan muda tidak betah dan akhirnya tidak tertarik kembali.”

Pertanyaannya, apakah kisah-kisah suram tersebut mematahkan semangat generasi penerus? Tidak. Seorang anak muda ingin menjadi aktivis dengan idealisme yang membuncah namun hampir saja putus asa lantaran ayahnya mendebat dengan kenyataan pahit yang pernah dialaminya ketika menjadi aktivis. Dialog ayah-anak ini adalah adegan terbaik dalam pertunjukan ini dan mampu memainkan emosi penonton.

Semula sang ayah (diperankan sendiri oleh Totenk) betul-betul melarang anaknya (Hening) yang hendak jadi aktivis, sehingga timbul kesan dia sudah apatis, karena kejadian pilu pernah dialami ketika diabaikan teman seperjuangannya yang sudah kaya raya. Padahal saat itu dia hendak minta bantuan lantaran isterinya sedang sakit keras, butuh pertolongan segera. Toh tidak ada sambutan baik sehingga sang isteri meninggal dunia.

Mahasiswi itu terkejut dengan kisah meninggalnya ibunya sendiri yang baru diketahuinya. Hampir saja dia berkesimpulan ayahnya akan melarang dirinya jadi aktivis karena peristiwa pahit itu. Namun dalam percakapan berikutnya sang ayah malah mendukung tanpa terkesan berubah sikap. “Almarhumah Ibumu pasti bangga dengan pilihanmu,” tegasnya.

Nasehatnya yang disampaikan pada anak tunggal perempuan itupun terasa sangat bijak: “….. musuhmu bukanlah pemerintah semata namun kesewenang-wenangan. Maka jangankan pemerintah, ayahmu sendiri, kawanmu, organisasimu, kampusmu, bahkan pikiranmu sendiri bila sudah ada kesewenang-wenangan maka harus dilawan.”

Kalimat itulah yang kemudian diulang-ulang dalam permainan koor sejumlah pemain menjelang akhir pertunjukan.

 

Lumayan Tegang

Boleh dikata pertunjukan ini memang lumayan tegang. Tetapi tidak ada salahnya kalau kandungan humornya perlu dikelola sedemikian rupa agar pertunjukan tidak berlangsung tegang. Dan peluang untuk itu banyak tersedia pada adegan-adegan di warung. Biasanya, kalau petunjukan kurang humor, penonton langsung tertawa hanya pada hal-hal kecil yang sebetulnya tidak disengaja.

Yang berbeda dengan pertunjukan biasanya, di lobi gedung Cak Durasim sudah terpampang pameran lukisan yang menggambarkan perjuangan mahasiswa masa reformasi. Sayangnya, pengunjung tidak akan bisa sempat menikmati lukisan-lukisan itu sebelum menyaksikan pertunjukan lantaran keterbatasan waktu. Kalau toh sempat, justru setelah menonton pertunjukan.

Mengawali pertunjukan ini  sajian musik disajikan  dengan lagu-lagu berlirik kritis disertai baca puisi berhasil membangun suasana menjelang pertunjukan dimulai. Begitu pula tayangan di layar lebar juga mampu menggiring emosi penonton untuk masuk dalam persoalan yang hendak dibawakan dalam lakon ini.

Hanya saja, dari sekian ragam dunia aktivis itu, sayangnya tidak digambarkan ada contoh mantan aktivis yang tetap idealis, meski tidak terlalu kaya namun tidak juga miskin dan tidak dikejar-kejar rentenir.  Bahwasanya idealisme sebagai (mantan) aktivis tetap dapat dipertahankan dari berbagai godaan hidup enak dan tawaran jabatan menghampirinya. Bisa jadi dia (mereka) justru menolak masuk dalam birokrasi, menolak bergabung dalam partai, dan tetap bertahan dalam posisi sebagai “anggota masyarakat biasa” yang tetap kritis terhadap pemerintah dan memberikan dorongan moral kepada anak-anak muda agar terus berjuang melawan kesewenang-wenangan. Dialah sosok panutan yang perlu didengar wejangannya.

Saya kira contoh figur seperti itu pernah ada dan sampai sekarang juga masih ada. Figur yang selalu bersemangat bicara tentang negara dan cita-cita proklamasi. Figur yang ikut berjuang dan mengobarkan semangat saat pergolakan reformasi tetapi kemudian memilih berdiri di luar gelanggang ketika yang lain mendapat posisi empuk. Dialah yang justru melancarkan kritik keras ketika cita-cita reformasi justru berbelok dan malah bertentangan dengan yang pernah dicanangkan.

Figur inilah yang tetap bersemangat muda meski sudah memasuki usia senja dengan rambut yang sudah memutih seluruhnya. Alangkah bagusnya kalau figur seperti ini ada juga diantara berbagai ragam aktivis dalam pementasan ini. Tetapi itu memang pilihan, bukan sebuah kekurangan. Bahwasanya Sanggar Lidi sudah menyajikan pertunjukan yang bagus, itu tidak bisa ditolak. Padahal namanya belum berkibar besar di dunia teater, para aktornya kebanyakan bukan pentolan teater. Malah, ini yang menggembirakan, sebagian besar justru didukung anak-anak muda yang masih mahasiswa namun berani berkiprah di luar kampus. Selamat. (*)

In category: Artikel
Related Post
no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...

no-img
JELAJAH BUDAYA CANDI GUNUNG GANGSIR

PASURUAN: Acara bulanan rutin Dialog Budaya Komunitas Seni Budaya BrangWeta...