Bisikan Sunyi Perupa Tuban
Oleh Henri Nurcahyo
TUBAN itu Kota Tuak, katanya. Tapi ada yang tidak sepakat karena gara-gara tuak menyebabkan orang mabuk. Dan mabuk itu, katanya lagi, dilarang agama. Karena itu konon ada pejabat yang pernah melontarkan gagasan hendak memberangus pohon Siwalan, yang menghasilkan minuman legen dan tuak itu. Lho, apa salahnya pohon Siwalan?
Dalam pameran lukisan yang saat ini sedang berlangsung di gedung Budaya Loka (19-24 Juli), Robert Santari menampilkan karya-karya yang didominasi pohon-pohon Siwalan. Perupa asal desa Sugiharjo itu hendak menegaskan bahwa keberadaan pohon Siwalan tidak dapat dilepaskan dari eksistensi kota Tuban. Jangan hanya karena tidak suka orang mabuk maka pohon Siwalan disalahkan.
Siwalan adalah pohon masa depan karena siapa yang menanamnya belum tentu dapat memetik hasilnya. Butuh 40-50 tahun sejak pohon ditanam sampai dengan dapat dinikmati legennya. Dibutuhkan ketrampilan tersendiri untuk dapat memanen buah Siwalan, harus dengan memanjat, tidak bisa diunduh dengan sebatang galah misalnya. Proses menjadikan air buah Siwalan hingga menjadi legen juga unik. Dan tuak, justru merupakan produk sampingan yang “gagal”.
Siwalan adalah juga pohon tempo doeloe, karena daun-daunnya (lontar) pernah digunakan sebagai penganti kertas untuk menuliskan kitab-kitab kuno. Nyaris tidak ada pohon Siwalan yang roboh diterjang banjir atau angin ribut, karena akar serabutnya yang sangat kuat mencengkeram tanah.
Robert Santari (lahir 1972) mengabadikan pohon-pohon Siwalan di atas kanvasnya, bersama dengan pemandangan yang asri, sungai-sungai yang mengalir jernih, sawah menghijau dan jalanan desa yang artistik. Itulah dunia imajinasinya, karena Santari tidak sedang memindahkan alam lingkungan yang diihatnya sebagai objek lukisan. Pemandangan alam dan pohon-pohon Siwalan dalam kanvasnya adalah dunia imajinasinya, meski sebetulnya terinspirasi oleh realita lapangan.
Sama-sama melukis pemandangan, Qomarrudin justru mengabadikan pemandangan bagus yang dimiliki Tuban. Ada sawah-sawah menghijau dengan teras-teras artistik, sungai jernih berbatu-batu, hutan yang asri dan sebagainya. Kemampuan pelukis kelahiran tahun 1992 ini sudah melewati batas-batas teknis melukis realis. Qomarrudin adalah pelukis yang cocok untuk on the spot.
Kemampuan teknis realis ini juga dimiliki oleh Camil Hady (lahir 1978). Bedanya, perupa asal Brondong Lamongan ini juga sudah menemukan gaya personal dalam melampiaskan ekspresinya. Pada mulanya dia juga melukis sebagaimana kebanyakan pelukis lainnya, namun belakangan dia seolah-olah melukis di atas lembaran papan kayu. Bahkan ketika melukis lembaran kain dan gordiyn juga seolah-olah disampirkan di atas kayu jendela. Menyulap lembaran kanvas menjadi nampak seperti kayu itulah ciri khasnya yang menarik.
Perupa yang juga tampil dengan gayanya sendiri adalah Imaduddin (lahir tahun 1961) dengan karya-karya “kaligrafi”. Ini memang bukan murni kaligrafi tetapi Lukisan Kaligrafi. Artinya, tanpa membaca bunyi tulisan Arabnya pun sudah dapat dinikmati sebagai karya seni rupa. Sepintas memang mengingatkan gaya lukisan Amang Rahman, terutama warna-warna birunya, tetapi apa yang diekspos oleh Imaduddin ini sudah jauh dari citra Amang Rahman, tetapi sudah menjadi dirinya sendiri. Bagaimanapun diakuinya memang gaya lukisan Amang Rahmanlah yang membuatnya seperti sekarang ini. Dan itu sah-sah saja.
Sementara Syaiful Amin (kelahiran tahun 1969) nampaknya tidak suka dikotak-kotakkan dalam gaya tertentu. Kadang melukis sureais fotografis, kadang dekoratif, atau malah menolak berindah-indah. Perjalanan panjangnya sebagai perupa sudah melewati berbagai pengalaman sehingga dia tidak merasa perlu untuk berdiam hanya dalam satu gaya saja.
Menyaksikan karya-karya lima perupa Tuban ini (sebetulnya yang satu Lamongan) nampak jelas bahwa masing-masing memiliki kekuatan tersendiri yang patut dibanggakan. Mereka menyuarakan kemampuannya tanpa harus berteriak melainkan bersenandung dalam bisikan. Itulah makna Whisper of Silence sebagaimana tema pameran ini. (*)
Henri Nurcahyo, penulis buku seni rupa dan budaya.