Artikel

Jangan Terulang Lagi Kasus Reyog Ponorogo

Jangan Terulang Lagi Kasus Reyog Ponorogo

Oleh Henri Nurcahyo

Pernah tersiar kabar, pada akhir tahun 2007, seni pertunjukan Reyog Ponorogo diklaim sebagai milik Malaysia. Bukan hanya Reyog, melainkan juga Angklung dan lagu Raya Sayange. Maka berbagai aksi unjukrasa menentang Malaysia berkobar dimana-mana. Sedemikian marahnya rakyat Indonesia sampai menjuluki nama negara Malaysia dengan sebutan plesetan “Malingsia”.  Dalam kemarahan tersebut juga sering disebut-sebut seruan terkenal yang pernah disuarakan oleh Bung Karno yaitu “Ganyang Malaysia”.

Mengapa rakyat marah? Apakah betul bahwa Reyog Ponorogo hanya ada dan menjadi milik  Ponorogo saja? Faktanya, Reyog sudah tersebar luas ke seluruh penjuru nusantara, tidak terkecuali juga sampai ke negeri Malaysia. Kalau mau ditelusuri, justru orang-orang Ponorogo sendirilah yang “menghidupkan” Reyog Ponorogo di Malaysia, meski bukan disebut Reyog melainkan Tari Barong. Lagi pula, dapatkah sebuah kesenian diklaim hanya menjadi milik satu negara atau daerah tertentu saja?

Perdebatan mengenai hal ini lantas mengemuka dalam berbagai kesempatan. Satu hal yang pantas digarisbawahi, ternyata gara-gara klaim Malaysia itulah maka banyak orang yang kemudian “peduli” dengan kekayaan budaya bangsa sendiri.  Pihak Malaysia sendiri menyatakan pemerintahnya tidak pernah mengakui kesenian Reyog Ponorogo dan Angklung sebagai seni budaya milik Malaysia, sebagaimana juga terhadap angklung dan batik Indonesia. Seni budaya tersebut tetap menjadi milik bangsa Indonesia.

Pertanyaannya kemudian, seberapa kenal sih kita terhadap kekayaan budaya sendiri? Dan yang lebih penting lagi, apa yang sudah kita lakukan terhadap kekayaan budaya tersebut? Jangan-jangan kita hanya bisa protes ketika Malaysia mengklaim Reyog dan sebagainya, tapi sebenarnya kita tidak melakukan apa-apa untuk melestarikan dan mengembangkannya. Dengan kata lain, menjaga, merawat dan mengembangkan suatu kekayaan budaya itu sebetulnya jauh lebih penting ketimbang mengaku memilikinya. Boleh-boleh saja kita ngotot mengklaim bahwa Angklung memang milik budaya bangsa Indonesia, tetapi kalau kenyataannya justru Malaysia yang lebih peduli mengembangkannya, apakah kita lantas teriak-teriak? Tentunya harus dibedakan antara potensi budaya di suatu wilayah dengan budaya yang menjadi milik wilayah atau negara tertentu.

Di sisi lain, apakah kita lantas melarang negara lain mengembangkan potensi budaya (kesenian) milik bangsa Indonesia? Bukankah kita sendiri juga mengembangkan (sebut saja) kesenian yang jelas-jelas menjadi milik negara lain? Sekadar contoh, tari Ballet itu bukan milik Indonesia, namun sekarang sudah berkembang luas di kota-kota besar Indonesia. Demikian juga yang namanya gamelan dan karawitan juga banyak berkembang  Amerika Serikat. Mereka menyebutnya “orkestra Jawa”. Bukti populernya gamelan, antara lain, kini kelompok pemain gamelan tersebar di 45 dari 50 negara bagian di AS. Haryo Winarso, Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedubes RI di AS, mengatakan, ada sekitar 400 komunitas gamelan di AS, terutama berbasis di perguruan tinggi. Dari 400 komunitas gamelan tersebut, 127 komunitas aktif berlatih dan menggelar pementasan.

Ah sudahlah, sisihkan dulu perdebatan itu. Inilah saatnya kita mengenali, memahami dan melestarikan potensi budaya negeri kita sendiri. Bahwa yang namanya Reyog, Batik, Angklung itu sesungguhnya tergolong dalam Warisan Budaya Takbenda (Intangible Cultural Heritage). Sedangkan peninggalan purbakala dan candi termasuk dalam Warisan Budaya Benda (Tangible Cultural Heritage). Batik disebut Takbenda karena bukan benda kain batiknya itu yang dimaksud, melainkan budaya batik secara utuh. Demikian pula angklung, reyog, wayang, dan sebagainya.

Kasus klaim Reyog sebagaimana tersebut di atas sedikit banyak membuka mata pemerintah Indonesia untuk lebih serius melakukan pendaftaran atas kekayaan berupa Warisan Budaya Takbenda ini. Pencatatan Warisan Budaya Takbenda (WBTB) merupakan salah satu kegiatan dalam pendaftaran dan pencatatan unsur budaya menjadi warisan budaya masyarakat, yang kemudian dilakukan penetapan sebagai upaya perlindungannya. Hal ini merupakan bagian dari upaya pelestarian WBTB agar dapat memantapkan jati diri bangsa dan  memperjelas asal usul unsur budaya yang terdapat di wilayah Indonesia. Pencatatan WBTB Indonesia ini diharapkan memberikan manfaat dan keuntungan bagi masyarakat Indonesia.

Namun yang perlu diingat, bahwa pencatatan karya budaya sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) baik secara nasional maupun skala internasional (UNESCO) hanyalah berupa pengakuan politis, karena yang jauh lebih penting adalah tindakan apa yang dilakukan sebelum dan setelah dilakukan penetapan tersebut. Karena itu ada yang meremehkan perlunya pencatatan, percuma kalau hanya dicatat saja namun tidak berbuat apa-apa terhadap karya yang dicatat tersebut. Kalau toh benar seperti itu, setidaknya sudah ada satu langkah penting yaitu melakukan pencatatan sebagai langkah awal kongkrit yang dapat dijadikan landasan bagi tindakan berikutnya. Bukankah banyak karya budaya yang tidak jelas keberadaannya karena tidak ada pencatatan atasnya? Bahkan yang sudah tercatat saja masih bisa “hilang” apalagi yang tidak tercatat. Jadi pentingnya pencatatan WBTB ini ibarat kita memiliki sertifikat atas  tanah yang kita miliki. Apa gunanya sertifikat, tentu tidak perlu dijelaskan di sini.

Pencatatan WBTB Indonesia bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan juga menjadi tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) seperti komunitas pendukungnya dan masyarakat Indonesia secara umum. Pada saat ini, banyak inventarisasi WBTB sudah dilakukan oleh pemangku kepentingan, baik dengan cara manual maupun online, oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Perguruan Tinggi, Organisasi Kemasyarakatan, LSM, maupun Perseorangan.

Indonesia telah meratifikasi Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage tahun 2003, yang disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage. Sehubungan dengan hal tersebut, maka selain unsur budaya Indonesia dicatatkan maka perlu dilakukan penetapan. Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia adalah pemberian status Budaya Takbenda menjadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Warisan Budaya Takbenda Indonesia.

Kegiatan penetapan ini dilakukan sebagai upaya untuk melindungi Budaya Takbenda yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kegiatan penetapan ini melibatkan semua pihak seperti Pemerintah, Pemerintah Daerah, BPNB, dan stakeholder. Dengan demikian diharapkan kepedulian masyarakat akan pentingnya Pelestarian Warisan Budaya Takbenda Indonesia akan semakin meningkat.

Pemerintah Republik Indonesia melalui Kemendikbud, memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendaftarkan secara online Warisan Budaya Takbenda (WBTB) yang ada di daerah masing-masing. Pencatatan menyeluruh tentang WBTB sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 1976 melalui proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah hingga pada tahun 2009 – 2011 kegiatan pencatatan WBTB Indonesia dilakukan oleh Direktorat Tradisi, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film. Pada tahun 2012 dengan terbentuknya Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya, maka kegiatan pencatatan WBTB ditangani oleh direktorat ini.  Dalam perkembangannya pencatatan WBTB ini beralih lagi dalam kewenangan Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya cq Subdit Warisan Budaya Tak Benda.

Mengenal Warisan Budaya Tak Benda

Apakah yang disebut Warisan Budaya Takbenda? Menurut definisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) adalah seluruh hasil perbuatan dan pemikiran yang terwujud dalam identitas, ideologi, mitologi, ungkapan konkrit dalam bentuk suara, gerak maupun gagasan yang termuat dalam benda, sistem perilaku, sistem kepercayaan dan adat istiadat.

Mengacu pada Konvensi UNESCO Tahun 2003 bahwa Warisan Budaya Takbenda itu diwujudkan antara lain di bidang-bidang berikut:

  1. Tradisi dan Ekspresi Lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya takbenda
  2. Seni Pertunjukan;
  3. Adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan;
  4. Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta;
  5. Kemahiran kerajinan tradisional.

Dibandingkan dengan Warisan Budaya Benda yang berurusan dengan bendanya secara fisik, maka WBTB lebih kepada gagasan yang termuat dalam benda tersebut. Karena itu, ketika Wayang ditetapkan sebagai Intangible Cultural Heritage (ICH) oleh UNESCO tahun 2008, yang dimaksudkan bukan wayang secara fisiknya. Demikian juga Batik (2009), Angklung (2010), Tari Saman Aceh (2011), Noken Papua (2012), kemudian vakum selama 3 (tiga) tahun hingga ditetapkan Tiga Generasi Tari Bali (2015), dan vakum lagi satu tahun, baru ditetapkan tahun 2017 untuk Kapal Phinisi dari Sulawesi Selatan.

Meski UNESCO sudah menetapkan WBTB dari Indonesia sejak tahun 2008, ternyata pemerintah Indonesia baru tergerak untuk melakukan hal yang sama di tingkat nasional pada tahun 2013. Hingga tahun 2017, sebanyak 594 karya budaya tak benda telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada mulanya, penetapan WBTB Nasional ini dimulai tahun 2013, dari 77 karya budaya dari seluruh Indonesia yang ditetapkan sebagai WBTB Nasional terdapat 5 (lima) karya budaya dari Jawa Timur, yaitu: Gandrung, Kentrung, ‘Keraben Sape’ (Karapan Sapi), Reyog Ponorogo dan Sapi Sonok. Penetapan WBTB oleh Kemendikbud ini hanya ditentukan berdasarkan provinsi masing-masing, bukan dari kota/kabupatennya.

Jadi ribut-ribut mengenai klaim Reyog oleh Malaysia tahun 2007 itu ternyata ada hikmahnya, karena 5 (lima) tahun kemudian pemerintah Indonesia menetapkan Reyog Ponorogo sebagai salah satu WBTB Nasional. Penetapan ini berdasarkan kajian yang dilakukan oleh sebuah Tim Penilai yang ditunjuk oleh Depdikbud terdiri dari para ahli berbagai bidang.

Baru pada tahun berikutnya (2014), dilakukan dengan proses pengusulan dari daerah-daerah, yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi dan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) yang membawahi provinsi tersebut.  Dari usulan tersebut diverifikasi secara administrasi oleh Tim, kemudian dilakukan Sidang Penetapan dengan mengundang perwakilan masing-masing daerah. Untuk wilayah Jawa Timur berada dalam satu wilayah dengan provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu BPNB yang berkedudukan di Yogyakarta.

Sebanyak 8 (delapan) karya budaya dari Jawa Timur yang ditetapkan menjadi WBTB Nasional adalah Dongkrek (Madiun), Jaran Bodhag (Probolinggo), Ludruk (beberapa kota), Syiir Madura (Pamekasan, Sumenep), Tari Seblang (Banyuwangi), Tumpeng Sewu (Banyuwangi), Upacara Kasada (Probolinggo) dan Wayang Topeng Malangan (Malang). Pada tahun ini masih ada kriteria “Warisan Bersama” untuk karya budaya yang memiliki kesamaan di beberapa provinsi sebanyak 7 (tujuh) karya budaya, diantaranya Egrang dari Jawa Timur.

Tahun berikutnya (2015) katagori “Warisan Bersama” ini dihilangkan, dengan catatan pengusulan sebuah karya budaya harus menyebutkan daerah atau kota yang diusulkan. Jadi Wayang Topeng Malangan meski sudah ditetapkan menjadi  WBTB Nasional, tidak menutup peluang bagi Jawa Tengah mengusulkan Wayang Topeng Klaten misalnya. Toh tahun 2017 juga ditetapkan Wayang Topeng Pedalangan dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Hanya ada  4 (empat) karya budaya dari Jatim yang ditetapkan menjadi WBTB Nasional pada tahun 2015 yaitu: Larung Sembonyo (Trenggalek), Ronteg Singo Ulung (Bondowoso), Tanean Lanjang (Pamekasan), dan Wayang Beber Pacitan. Berikutnya, tahun 2016 ditetapkan sebanyak 6 (enam) karya budaya yaitu: Jaran Kencak (Lumajang), Wayang Krucil Malangan (Malang), kuliner Lodho (Trenggalek), Entas-entas Tengger (Probolinggo), Ritual Macek Tengger (Probolinggo) dan Kebo Aliyan Using (Banyuwangi).

Dan yang baru saja ditetapkan pada tahun 2017 adalah Sandur Manduro (Jombang), Ceprotan (Pacitan), Jamasan Pusaka Kyai Pradah (Blitar), Nyader (Sumenep) dan Damar Kurung (Gresik). Dalam sidang tahun ini juga dipertimbangkan karya budaya seperti arsitektur tradisional dikeluarkan dari kriteria WBTB karena lebih banyak cocok dimasukkan dalam Warisan Budaya Benda.

Pendataan Karya Budaya

Ada berapa karya budaya di Jawa Timur yang layak diusulkan menjadi WBTB Nasional? Dari yang sudah diakui sejak tahun 2013 hingga 2018 sebanyak 36 WBTB Nasional dari Jatim, tentunya masih amat sangat banyak lagi karya budaya yang layak diusulkan untuk ditetapkan. Jumlahnya bisa saja mencapai ratusan atau bahkan sampai ribuan. Hanya saja, seringkali kita menyebut “banyak sekali” namun tidak didukung data yang memadai. Kemiskinan data ini sudah menjadi penyakit kronis yang sudah diketahui sejak lama namun tidak (belum) ada upaya untuk menyembuhkannya.

Dari 5 (lima) jenis WBTB menurut panduan Unesco tersebut di atas, masing-masing dapat dijabarkan lagi menjadi banyak sekali contoh-contohnya. Misalnya saja Seni Pertunjukan Tradisional, ada berapa jenis di Jatim? Banyak sekali kan? Demikian pula Tradisi Lisan, Adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan; Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; serta Kemahiran kerajinan tradisional.

Untuk memudahkan pendataan, ada baiknya diberikan contoh keempat jenis WBTB tersebut dari WBTB Jawa Timur yang sudah ditetapkan di tingkat nasional:

  1. Tradisi dan Ekspresi Lisan

Syiir Madura dan Ritual Ronteg Singo Ulung (hanya 2 karya), contoh dari daerah lain misalnya Zikir Saman Banten, Kantola (Sulawesi Tenggara) yaitu permainan berbalas pantun, Pa’iya lo hungo lo poli (Gorontalo) yaitu  sastra lisan daerah yang berhubungan dengan pergaulan muda-mudi, dibawakan oleh laki-laki dan perempuan mereka saling melempar rayuan satu sama lain dalam bahasa Gorontalo.

  1. Seni Pertunjukan;

Gandrung, Kentrung, Reyog Ponorogo, Wayang Topeng Malangan, Wayang Krucil Malangan, Ludruk, Jaran Bodhag, Wayang Beber Pacitan, Jaran Kencak Lumajang, Sandur Manduro, Janger Banyuwangi, Reog Cemandi Sidoarjo, Sandur Bojnegoro dan Tuban, Wayang Thengul Bojonegoro dan Wayang Topeng Jatiduwur Jombang(16 karya budaya).

  1. Adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan;

Ronteg Singo Ulung, Karapan Sapi, Sapi Sonok, Tari Seblang, Tumpeng Sewu, Kasada, Seblang, Larung Sembonyo, Entas-Entas Tengger, Kebo Aliyan Using, Ceprotan, Jamasan Pusaka Kyai Pradah, Nyader Sumenep dan Manten Kucing Tulungagung. (14 karya budaya)

  1. Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta;

Hanya ada dua dari Jatim, yaitu Mecak (sistem penanggalan) Tengger,  Clurit Madura, contoh dari daerah lain misalnya: Bubu Penangkap Ikan (Sumatera Selatan), Aluk Todolo (Sulawesi Selatan), Masyarakat Samin Bojonegoro.

  1. Kemahiran kerajinan tradisional.

Damar Kurung, Tanean Lanjang Pamekasan, Kuliner Lodho Trenggalek dan Raon Nguling (4 karya budaya). Dari daerah lain misalnya Payung Mesikhat (Aceh), Golok Ciomas (Banten), Batik Betawi, Kebaya Kerancang (Betawi), Iket Sunda (Jabar), Blangkon Yogyakarta, Dodol Betawi, Tempe Jawa Tengah,

Dari 36 WBTB Nasional yang berasal dari Jatim tersebut ternyata sebagian besar berupa Seni Pertunjukan dan Upacara Tradisional (Ritus). Yang paling sedikit adalah katagori “Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta” (2 karya), sementara katagori Kemahiran Tradisional hana  karya, padahal banyak sekali kuliner khas Jatim, ragam batik dan tenun, senjata tradisional. Katagori Tradisi Lisan (2 karya), Kecenderungan seperti ini juga terjadi dalam pengajuan WBTB dari daerah-daerah lain sehingga Tim Seleksi cenderung lebih memprioritaskan katagori yang sepi peminat.

Untuk dapat diajukan menjadi WBTB maka karya budaya harus memiliki kelengkapan berupa; (1) Deskripsi yang jelas, bukan dari Google (2) Dokumentasi Foto, bukan dari internet (3) Dokumentasi Video, bukan dari Youtube, (4) Karya Ilmiah, (5) Maestro atau tokoh setempat yang berkompeten. Biasanya, syarat berupa video dan karya ilmiah itu yang sulit dipenuhi. Karya ilmiah bisa berupa buku, skripsi, tesis, disertasi, hasil penelitian atau setidaknya artikel ilmiah. Biasanya, yang paling sulit adalah ketersediaan dokumentasi berupa video dan karya ilmiah,  sebagai syarat pengajuan mendapatkan penetapan sebagai WBTB Nasional.

Disamping itu, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengajuan WBTB adalah:

  1. Merupakan identitas budaya;
  2. Memiliki nilai-nilai yang dapat meningkatkan kesadaran akan jatidiri dan persatuan bangsa;
  3. Memiliki keunikan / kekhasan dari suatu suku bangsa (sesuatu yang langka) dan merupakan bagian dari komunitas;
  4. Merupakan living tradition dan memory collective yang berkaitan dengan pelestarian alam, lingkungan, dan berguna bagi manusia dan kehidupan;
  5. Memberikan dampak sosial ekonomi, dan budaya (multiplier effect);
  6. Mendesak untuk dilestarikan (unsur/karya budaya dan pelaku) karena perisitwa alam, bencana alam, krisis sosial, krisis politik, dan krisis ekonomi;
  7. Menjadi sarana untuk pembangunan yang berkelanjutan; menjadi penjamin untuk sustainable development.
  8. WBTB diprioritaskan di wilayah perbatasan dengan negara lain;
  9. Rentan terhadap klaim WBTB oleh Negara lain.
  10. Yang keberadaannya terancam punah;
  11. Sudah menjadi tradisi (diwariskan lebih dari satu generasi);
  12. Dimiliki seluas komunitas tertentu (untuk WBTB Indonesia tidak perlu melakukan penetapan bersama);
  13. Tidak bertentangan dengan HAM dan konvensi-konvensi yang ada di dunia;
  14. Mendukung keberagaman budaya dan pelestarian lingkungan alam
  15. Berkaitan dengan konteks
  16. Karya budaya yang akan ditetapkan sudah tercatat minimal 1 (satu)
  17. Pengusul/pemda bisa atau sudah melakukan kegiatan pelindungan, pemanfaatan, pengembangan, pelestarian dan pengelolaan, dan sebagainya.
  18. Ada rekomendasi dari tim ahli apakah perlu dilestarikan, dikembangkan, dimanfaatkan tergantung situasi dan kondisi.

Dalam prakteknya, pengajuan WBTB ini dimudahkan oleh keberadaan BPNB yang memang sudah menjadi tugasnya untuk melakukan kajian dan dokumentasi karya budaya tradisional sehingga begitu didapatkan hasilnya langsung diajukan ke Kemendikbud. Dari contoh-contoh di atas, karya budaya yang merupakan usulan BPNB adalah; Tari Seblang, Syiir Madura, Kasada, Tanean Lanjang, Entas-entas Tengger, Macek Tengger, dan Kebo Aliyan Using serta Ceprotan.

Sementara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jawa Timur tidak ada program melakukan pendataan karya budaya untuk diajukan menjadi WBTB Nasional. Pengadaan data karya budaya hanya mengandalkan peran serta Dinas Kebudayaan Kab/Kota yang sulit sekali diminta mengirimkan datanya karena bisa jadi mereka sendiri juga tidak memiliki program spesifik untuk itu. Padahal, tahun 2016 Pemprov Jatim sudah menyelenggarakan Sosialisasi WBTB untuk seluruh Dinas Kebudayaan se-Jatim dengan mendatangkan BPNB Yogyakarta.

Catatan Penutup

Apa boleh buat, bahwasanya pendataan karya budaya harus segera dilakukan secara sistematis dan masif yang menjangkau seluruh wilayah Jawa Timur. Pencatatan ini amat sangat penting sebagai landasan utama untuk pelaksanaan seluruh program kebudayaan di Jawa Timur, bukan hanya demi memenuhi permintaan Kemendikbud dalam program WBTB ini saja. Mengacu pada Undang Undang Nomor 5/Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, bagaimana mungkin kita (termasuk pemerintah) dapat melakukan Perlindungan, Pengembangan, Pemanfaatan dan Pembinaan terhadap karya budaya yang melimpah ruah di Jawa Timur ini, kalau data yang paling dasar saja tidak punya.

Mengandalkan Dinas Kebudayaan di masing-masing Kab/Kota saja nampaknya tidak mungkin. Hampir semua Kab/Kota tidak memiliki pendataan terkait dengan potensi budaya di daerahnya masing-masing. Paling-paling yang selama ini cukup rajin adalah Kabupaten Kediri, yang sudah melakukan pendataan seluruh potensi seni, budaya dan bahkan pariwisata. Kabupaten Trenggalek juga sudah membukukan pendataan karya budaya yang dilakukan oleh para  pelaku budaya sendiri. Demikian juga Kabupaten Blitar yang sudah menyusun Ensiklopedia Budaya yang dilakukan oleh Dewan Kesenian Kabupaten Blitar. Sementara Kabupaten Sidoarjo melalui Dewan Kesenian juga pernah menyusun secara sederhana buku Potensi Seni Budaya. Apakah kab/kota yang lain sudah ada juga yang menyusunnya?

Sementara itu Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah membentuk Tim Penyusun WBTB yang beranggotakan kalangan perguruan tinggi dan budayawan. Mereka inilah yang melakukan pelacakan data karya budaya, mendeskripsikannya, melengkapi persyaratan untuk kemudian diajukan menjadi WBTB Nasional. Tidak heran pada tahun 2017 kemarin DIY tercatat paling banyak mendapatkan penetapan WBTB yaitu sebanyak 18 (delapan belas) karya budaya. Bahkan Pemerintah Provinsi DIY sudah menjalin kerjasama dengan WBTB untuk melakukan pendataan semua karya budaya. Jadi kalau hanya untuk diajukan ke tingkat nasional saja tinggal menunggu giliran saja.

Sebagaimana sudah disebutkan di atas, bahwasanya penetapan menjadi WBTB Nasional ini, termasuk juga oleh UNESCO hanyalah sebuah keputusan politik saja. Yang justru jauh lebih penting adalah apakah yang kemudian dilakukan terhadap hasil penetapan tersebut. Apakah hanya berhenti sebatas sertifikat saja. Malah Kemendikbud sudah mensyaratkan untuk karya budaya yang akan didaftarkan menjadi WBTB bahwa “Pengusul/pemda bisa atau sudah melakukan kegiatan  pelindungan, pemanfaatan, pengembangan, pelestarian dan pengelolaan, dan sebagainya.”

Yang penting dilakukan pasca penetapan adalah: Fasilitasi pelestarian; Pemberdayaan Masyarakat dan Penjaminan Keberlanjutan.

Jadi, tunggu apa lagi sekarang? Just do it. (*)

Henri Nurcahyo, Ketua Komunitas Seni Budaya “BranGWetaN” dan sekretaris umum Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Cabang Jawa Timur.  Menulis puluhan buku berbagai topik lebih dari 40 judul, pengamat dan pelaku seni budaya.

Makalah ini disampaikan dalam Sarasehan Warisan Budaya Tak Benda di Sanggar Seni dan Sejarah Sukarno, Wunut, Porong, Sidoarjo, 7 Maret 2019.

 

 

In category: Artikel
Related Post
no-img
Dalam Budaya Nusantara Sudah Dikenal Adanya Kesetaraan Gender

GENDER adalah perbedaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang diben...

no-img
Ziarah Abadi buat Profesor Ludruk

Judul buku      : Henricus Supriyanto. Hidup itu Penuh Guyonan Penulis...

no-img
Menyulap Bebatuan Menjadi Warna Lukisan

DAHULU kala, pada Zaman Batu, nenek moyang manusia menggunakan batu untuk b...

no-img
EMAK GUGAT, TEROR KONTEMPLATIF

Catatan Henri Nurcahyo JEMBER: Dody Yan Masfa muncul membawakan monolog ber...

no-img
Memaknai Wayang dalam Pameran Lukisan Kontemporer di Desa

Catatan Henri Nurcahyo BANYUWANGI: Ini pameran seni rupa (baca: lukisan) ya...

no-img
JELAJAH BUDAYA CANDI GUNUNG GANGSIR

PASURUAN: Acara bulanan rutin Dialog Budaya Komunitas Seni Budaya BrangWeta...